Insiden pemotongan nisan salib di permakaman umum Jambon, di Kotagede, Yogyakarta, awal pekan lalu, seharusnya tidak terjadi jika warga di sana bersikap lebih toleran terhadap sesamanya yang berbeda keyakinan. Sesuai dengan konstitusi, mendiang Albertus Selamet Sugihardi berhak mendapat prosesi pemakaman yang sesuai dengan agama Katolik yang dianutnya.
Tak hanya salib yang dipotong, doa bersama di rumah mendiang pun tak bisa digelar karena warga kampung yang mayoritas muslim merasa keberatan. Kesepakatan antarwarga yang menjadi dalih pemotongan salib dan pelarangan doa jelas tak bisa jadi alasan. Apalagi ada indikasi istri almarhum, Maria Sutris Winarni, berada dalam tekanan ketika meneken kesepakatan.
Permintaan maaf Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, kepada keluarga mendiang Albertus sudah benar, meski tak memadai. Penyesalan itu harus ditindaklanjuti dengan kebijakan dan program nyata. Sebagai kepala daerah, Sultan harus menjelaskan apa antisipasi pemerintah untuk memastikan aksi-aksi intoleran semacam itu tak terjadi lagi di wilayahnya.
Aksi intoleran di Yogyakarta ini bukan yang pertama. Pada awal Februari lalu, seorang pria bersenjata tajam membubarkan misa pagi di Gereja St Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta. Setelah melukai umat yang sedang berdoa, dia menghancurkan patung Yesus dan Bunda Maria yang ada di mimbar.
Sebelumnya, pada Januari, bakti sosial yang digelar Gereja Santo Paulus di Banguntapan, Bantul, dibatalkan karena protes warga. Puluhan orang dari Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI), dan Majelis Mujahidin Indonesia menuding bakti sosial itu sebagai upaya Kristenisasi. Kita juga masih ingat, seorang camat di Pajangan, Bantul, sempat ditolak warga karena beragama Kristen.
Tak mengherankan jika Setara Institute dan Wahid Foundation, dua lembaga yang memantau gejala intoleransi di Indonesia, menilai Yogyakarta kini kian meninggalkan kebinekaan. Posisi Yogya selalu rendah dalam indeks kota toleran (IKT) yang dibuat Setara. Negara tak hanya lemah dalam melindungi warga Kristen dan Katolik, tapi juga tak berdaya membela pemeluk Ahmadiyah, Syiah, aktivis gerakan perempuan, sampai aktivis kiri, yang kerap diganggu kaum Islam konservatif.
Yang memprihatinkan, gejala serupa terjadi di seluruh Indonesia. Peminggiran atas hak kaum minoritas kian sering terjadi, tanpa perlindungan yang konkret dari aparat penegak hukum. Langkah Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta meluncurkan aplikasi online untuk memantau aliran keagamaan yang "menyimpang" pada November lalu mencerminkan tak tegasnya posisi pemerintah soal keberagaman keyakinan di negeri ini.
Undang-Undang Dasar 1945 jelas menjamin hak setiap warga negara untuk memiliki keyakinan dan agamanya masing-masing. Para pendiri negara ini juga tak merancang Indonesia sebagai negara agama. Namun apa yang terjadi beberapa tahun terakhir kian jauh dari prinsip itu. Insiden pemotongan salib di Yogyakarta pekan lalu adalah cermin wajah Indonesia hari-hari ini.