Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com
Strategi militer tidak hanya dapat dialihkan, dengan berbagai penyesuaian, ke dalam dunia politik ataupun bisnis. Sebab, bahkan masih sebagai strategi militer "murni" pun, perhatian kepada bidang sosial, politik, dan ekonomi tidak pernah dilepaskan. Dari Sun Tzu (544-496 SM) sampai Machiavelli (1469-1527), keduanya menulis buku berjudul sama, Seni Perang, menyebutkan aspek nonmiliter menjadi bagian dari strategi militer. "Yang ahli dalam seni perang menundukkan musuh tanpa bertempur," ujar Sun Tzu (Widjaja, 1992: 57). Selain itu, Machiavelli (Gilbert dalam Earle, 1962: 11) berpendapat, "Perhatian seorang jenderal tidak boleh terbatas pada tindakan militer semata."
Ini berarti para jenderal yang jalan hidupnya beralih ke dunia politik tidak akan dan tidak perlu melupakan strategi militer. Sebaliknya, mereka harus memanfaatkannya. Dalam posisi politik di pihak yang lebih lemah, misalnya, seorang jenderal tidak melupakan strategi perang gerilya, yang dalam keterbatasan daya kemiliteran memang menyertakan segala aspek nonmiliter.
Mao Zedong, yang memimpin long march legendaris pada 1949 untuk mengalahkan pasukan Chiang Kai-shek, membandingkan gerilya dan rakyat dengan ikan dan air. Kata dia, "Air mesti dipelihara dalam iklim politik dan sosial-ekonomi yang alamiah untuk memastikan perkembangan pejuang gerilya yang berenang di dalamnya dengan layak," (Nasution, 1953: 27).
Dengan kata lain, perang gerilya adalah perangnya rakyat. Perang gerilya adalah perang rakyat yang total: militer, politik, sosial-ekonomi, dan psikologi. Pejuang gerilya bukan hanya pelopor dalam pertempuran, tapi juga di atas segalanya adalah pelopor suatu ideologi.
Namun, meski Mao berhasil, disebutkan bahwa perang gerilya tidak bisa membawa kemenangan dari dirinya sendiri, dan karena itu hanya berharap melemahkan lawan dengan mengosongkan sumber daya. Kemenangan final hanya dapat dicapai tentara reguler dalam perang konvensional karena hanya pasukan tentara dapat melakukan serangan yang berkemampuan menaklukkan musuh. Perang gerilya adalah perang yang lemah melawan yang kuat.
Dalam aspek nonmiliter, terdapat senjata rumor alias desas-desus, selentingan, dan kabar angin. Disadari keberadaannya dalam buku petunjuk Tentara Nasional Indonesia pada 1949, potensi senjata rumor antara lain bertujuan menciptakan keadaan saling tak percaya, saling tuduh, saling menghasut antara pemimpin dan anak buah, atau antara pemerintah dan partai politik. Khalayak perlu dibuat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, tentara, dan pokoknya pihak yang lebih kuat. Pada tahun politik 2019, media sosial bisa menggandakan keberdayaan rumor sampai taraf tiada terhingga.
Betapa pun, jika ada gerilya, ada pula resep antigerilya. Perang antigerilya bertujuan memutus pejuang gerilya dari basisnya di antara khalayak, serta karena itu menegaskan tindak politis, psikologis, dan ekonomis. Gerilya dihadapkan pada taktiknya sendiri, yang terdiri atas tindakan ofensif bergaya lincah dan luwes. Perang antigerilya merupakan pasifikasi yang terdiri atas usaha-usaha konstruktif, sementara perang biasa adalah destruktif. Jadi bukan eliminasi gerilya, melainkan pemutusan hubungan gerilya dari khalayak. Masalah terpentingnya, apakah gerakan antigerilya membawakan kepada khalayak ideologi yang lebih baik?
Apakah yang menentukan keberhasilan masing-masing? Antigerilya kolonial tidak akan pernah berhasil, kecuali jika berhasil memecah belah. Sebaliknya, perang gerilya Jerman, ketika diduduki Sekutu pada 1945, tidak mungkin berhasil. Selain karena tidak ada bantuan dari luar, khalayak kehilangan daya dan putus asa akibat perilaku polisi rahasia Nazi sendiri (Nasution, 1953: 47, 55-7, 159). Prinsip-prinsip perang gerilya dan antigerilya masih berlaku hari ini dalam sektor rumor, antara yang lemah dan yang kuat-di mana pun tempatnya.