Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menghentikan Kekerasan Seksual

Oleh

image-gnews
Sejumlah perempuan memegang sebuah kertas bertuliskan Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di sela-sela acara pembukaan Konferensi Perempuan Timur 2018 di Kota Kupang, NTT 10 Desember 2018. Acara ini juga menuntut agar disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual. ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
Sejumlah perempuan memegang sebuah kertas bertuliskan Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di sela-sela acara pembukaan Konferensi Perempuan Timur 2018 di Kota Kupang, NTT 10 Desember 2018. Acara ini juga menuntut agar disahkannya RUU penghapusan kekerasan seksual. ANTARA FOTO/Kornelis Kaha
Iklan

KETIDAKMAMPUAN pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sungguh memprihatinkan. Padahal usul ini masuk Program Legislasi Nasional sejak dua tahun lalu. Kegagalan ini mencerminkan tak adanya keberpihakan para pembuat undang-undang pada isu perempuan dan rendahnya pemahaman mereka soal urgensi peraturan ini.

Data Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama 2017 saja sudah berjumlah 335.062 kasus. Ini naik hampir 30 persen dari tahun sebelumnya dan trennya terus memburuk. Angka ini saja seharusnya sudah cukup membuat anggota DPR meletakkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai prioritas utama.

Apalagi separuh dari semua kasus perempuan yang melaporkan tindak kekerasan seksual selalu berakhir dengan jalur mediasi. Korban kerap dipaksa menikah dengan pelaku untuk menghindarkan keluarga korban dari aib. Akibat praktik semacam ini, masyarakat kian lama kian permisif terhadap kekerasan seksual. Sebagian besar orang kehilangan empati kepada korban dan cenderung ikut menyalahkan mereka.

Ujung pangkalnya adalah penegakan hukum soal tindak pidana kekerasan seksual yang selama ini memang bermasalah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual seolah-olah tak tersentuh. Pertama, sistem hukum Indonesia mendefinisikan kekerasan seksual dengan amat sempit. Saat ini definisi tindak pidana pemerkosaan, misalnya, hanya terbatas pada tindak pemaksaan hubungan seksual secara fisik. Bujuk rayu yang mengintimidasi dan ungkapan cabul yang tidak pada tempatnya tak digolongkan sebagai kekerasan seksual.

Kedua, hukuman untuk kejahatan seksual masih amat ringan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya menggolongkan pelaku kejahatan seksual dalam kategori perbuatan pencabulan dengan sanksi hukuman maksimal cuma sembilan tahun penjara. Peraturan lain, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, tidak mengatur dengan detail sanksi untuk tindak pidana eksploitasi seksual. Akibatnya, predator seksual bisa melenggang dengan hukuman ringan yang tak menimbulkan efek jera.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketiga, pembuktian kejahatan seksual umumnya harus melalui prosedur yang berbelit yang tak berpihak kepada korban. Keberhasilan penegakan hukum dalam kasus semacam ini amat bergantung pada kepekaan polisi, jaksa, dan hakim. Tanpa itu, korban kekerasan seksual kerap harus menghadapi "pemerkosaan kedua" karena detail kejahatan yang menimpa dirinya terus diulang-ulang selama proses penyidikan dan persidangan di pengadilan.

Karena itulah keberadaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi penting. Definisi kekerasan seksual bisa diperluas untuk mencakup berbagai bentuk kekerasan seksual lain. Hukuman untuk pelakunya juga bisa diperberat plus ada pembayaran ganti rugi materiil dan imateriil untuk korban.

Selain itu, undang-undang ini akan memperbaiki metode penanganan kejahatan seksual. Misalnya soal perlunya pendampingan psikiater dan keberadaan dokter khusus bagi korban selama penyidikan, yang dibiayai negara.

Pendeknya, kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu menangani kasus kekerasan seksual dengan adil, sistematis, dan berpihak kepada korban. Sesuatu yang seharusnya menjadi misi utama pemerintah dan DPR kita.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

7 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

28 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


30 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

36 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

40 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

55 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

56 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.