Pemerintah sudah semestinya mengejar target kuantitas pelaksanaan perhutanan sosial yang telah dicanangkan. Namun pencapaian luas area yang mengikuti program tersebut sebaiknya tak hanya menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan. Menggenjot pencapaian luas akan membuat program ini dijalankan dengan sekadar mobilisasi dari atas, yang tidak menjamin keberlanjutan.
Presiden Joko Widodo mencanangkan lahan seluas 12,7 juta hektare masuk dalam program perhutanan sosial periode 2015-2019. Program ini menjadi pendamping redistribusi lahan yang masuk ke agenda besar reforma agraria. Masyarakat dapat mengelola hutan untuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan. Ada lima skema pengelolaan, yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.
Dari sisi kuantitas, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, hingga November realisasi pengelolaan hutan dalam program ini masih 2,13 juta hektare atau 16,8 persen dari target 12,7 juta hektare. Angka yang ditargetkan ini memang ambisius, meski memiliki tujuan strategis, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di 40.859 desa.
Program itu mengasumsikan kelompok yang paling merasakan keberhasilan ataupun kegagalan pengelolaan hutan adalah masyarakat di sekitarnya. Karena itu,merekalah yang semestinya mendapat insentif paling tinggi untuk mengurus usaha kehutanan, sekaligus mencegah kerusakan.Apalagi, menurut data, dari sekitar 48,8 juta penduduk yang tinggal di sekitar hutan, 10,2 juta orang masuk kategori miskin.
Banyak contoh keberhasilan program ini. Masyarakat adat Kampung Segumon di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, berhasil melepaskan diri dari ketergantungan pada perkebunan sawit milik perusahaan besar. Di Kulon Progo, Yogyakarta, ada perhutanan sosial Kalibiru. Dirintis pada 1999 dengan izin sementara hutan kemasyarakatan, kelompok masyarakat di sini mengubah kawasan hutan yang semula kritis menjadi produktif sebagai kawasan ekowisata. Walhasil, tak ada lagi penduduk desa yang menebang kayu dari hutan.
Tentu ada pula kelompok yang belum berhasil. Di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, dua kelompok tani kewalahan mengelola lahan ratusan hektare. Mereka menyatakan perlunya pendampingan. Daerah ini bisa disebut sebagai contoh belum padunya semua unsur yang seharusnya terlibat. Program ini memang memerlukan keterlibatan sejumlah pihak, antara lain pemerintah daerah, akademikus, organisasi nonpemerintah, hingga kalangan usaha. Jika hanya salah satu unsur yang bergerak, bisa dipastikan perhutanan sosial di satu wilayah tak akan berjalan.
Patut dicatat, kesuksesan perhutanan sosial tidak akan ditentukan semata-mata oleh adanya izin legalitas ataupun bantuan modal dari pemerintah. Perhutanan sosial akan berhasil jika masyarakat pengelolanya mampu membangun kelembagaan secara baik. Dengan demikian, mereka akan mendapat manfaat dari pengelolaan hutan yang ditentukan secara adil.