Pemerintah harus mempercepat upaya penataan lahan demi menekan angka konflik tanah. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang diteken pada 24 September lalu, jangan sampai menjadi macan kertas. Presiden Joko Widodo semestinya memastikan aturan ini berjalan di daerah-daerah.
Angka sengketa agraria selama ini cukup merisaukan. Lembaga nirlaba Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat 659 kasus konflik tanah terjadi sepanjang tahun lalu. Sejumlah konflik bahkan mengundang tindak kekerasan dan penangkapan oleh polisi. Adapun kekerasan yang dilakukan oleh kelompok preman dalam konflik tanah sebanyak 15 kasus dan TNI 11 kasus.
Menurut data yang lebih baru, seperti dilansir Lembaga Studi dan Advokasi HAM, ada 36 kasus kekerasan terhadap pembela hak asasi dan lingkungan pada periode November 2017-Juli 2018. Mereka umumnya terlibat menentang proyek pemerintah yang mengusik tanah sebagai sumber penghidupan rakyat atau merusak lingkungan hidup.
Kasus Sawin dan Sukma bisa menjadi contoh betapa warga berada pada posisi lemah dalam konflik agraria. Warga Desa Mekarsari, Indramayu, ini digelandang polisi dengan tuduhan memasang bendera terbalik. Keduanya merupakan bagian dari kelompok warga yang mengajukan gugatan terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap-2 Indramayu.
Jika mengacu pada Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sawin dan Sukma semestinya tak bisa dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata. Nyatanya, mereka telah mendekam hampir tiga bulan di tahanan kejaksaan setempat.
Kasus serupa juga dialami Sholihin dan Koko, petani dari Kecamatan Takokak, Cianjur. Mereka dihukum penjara 1 tahun 5 bulan karena mempertahankan lahan garapan yang akan digunakan untuk perkebunan. Rumah petani di wilayah itu dihancurkan pihak perusahaan perkebunan yang membawa aparat keamanan. Di Kulon Progo, sebagian warga menolak rencana pemerintah membangun bandara internasional. Adapun di Sumba Barat, konflik agraria di pesisir Pantai Marosi menewaskan satu orang.
Rentetan konflik itu menunjukkan bahwa persoalan agraria tak bisa diselesaikan hanya lewat pemberian sertifikat tanah secara gratis. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu melakukan evaluasi menyeluruh tentang kebijakan sektor agraria di perkebunan, kehutanan, pertambangan, hingga wilayah pesisir yang berakibat tumpang-tindih kepemilikan lahan.
Pemerintah harus pula memastikan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat provinsi dan kabupaten sesuai dengan amanat Perpres Nomor 86/2018 demi menuntaskan berbagai sengketa tanah di berbagai daerah. Jangan sampai rakyat yang menggantungkan hidupnya pada lahan yang ditempati bertahun-tahun justru sering kalah dan tersingkir.