Hingga menjelang akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia nyaris jalan di tempat. Jika sungguh-sungguh berkomitmen memberantas korupsi, Jokowi mesti lebih serius lagi bertindak.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, IPK Indonesia hanya membaik satu tangga, dari posisi 36 ke 37 pada 2015-2017. Skor rata-rata tahunan pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi hanya 0,5, jauh di bawah skor pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang 1,4.
Sebenarnya perbaikan indeks pemberantasan korupsi Indonesia periode 1999-2017 tergolong yang terbaik di Asia, diikuti oleh Vietnam dan Cina. Tapi korupsi itu seperti virus, manakala langkah-langkah antikorupsi melemah, kejahatan luar biasa ini kembali merajalela.
Karena itu, pemerintah tidak boleh lengah dan mesti segera bekerja lebih keras. Jangan sampai rusak apa yang telah dicapai melalui gerakan antikorupsi selama sekitar 20 tahun terakhir.
Banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah. Antara lain, menghentikan rencana memasukkan delik tindak pidana korupsi ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang kini tengah dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. Delik korupsi dalam KUHP akan melemahkan KPK. Padahal KPK terbukti amat efektif dalam penanganan korupsi.
Perlindungan hukum terhadap saksi ahli dalam persidangan pun mesti diperbaiki. Kasus Basuki Wasis-saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor-tak boleh terulang. Dijadikan saksi oleh KPK, dia malah digugat Nur Alam, bekas Gubernur Sulawesi Tenggara yang divonis 15 tahun penjara dalam kasus korupsi.
Keputusan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang peran masyarakat dalam pemberantasan korupsi, yang memberikan insentif bagi pelapor korupsi, patut didukung. Tapi peraturan itu perlu diintegrasikan dengan sistem perlindungan hukum bagi pelapor.
Kajian Transparency International Indonesia pada 2017 menunjukkan bahwa masalah utama yang dialami oleh pengungkap korupsi adalah lemahnya perlindungan hukum bagi pelapor. Hal ini khususnya bagi pegawai pemerintah yang berhadapan dengan budaya birokrasi yang korup. Bila dia menjadi pelapor, tak ada jaminan kariernya akan selamat.
Indonesia baru menyelesaikan 8 dari 32 rekomendasi Konvensi Melawan Korupsi PBB (UNCAC). Beberapa rekomendasi telah diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang baru. Beberapa rekomendasi lain masih menjadi pekerjaan rumah, seperti aturan bagi orang yang memperdagangkan pengaruh dan orang yang memperkaya diri.
Semua rekomendasi itu harus segera diratifikasi dalam undang-undang agar KPK dan penegak hukum lain lebih leluasa bergerak memberantas korupsi. Presiden Jokowi dapat menunjukkan komitmennya dengan mendesak parlemen untuk segera menyelesaikan undang-undang ini.