Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Festival Film dan Sistem Hukum Negara

image-profil

image-gnews
Ilustrasi Film (pixabay.com)
Ilustrasi Film (pixabay.com)
Iklan

Kemala Atmojo
Pencinta Film

Festival Film Indonesia (FFI) 2018 sedang berlangsung. Sejak diselenggarakan pada 1955 hingga 2013, penjurian akhir FFI dilakukan dewan juri, yang berjumlah 7-9 orang. Dewan juri inilah yang menilai semua unsur (sekitar 13-20 unsur) di dalam film, seperti musik, skenario, artistik, akting, penyutradaraan, dan penyuntingan.

Model penjurian semacam itu sebenarnya linier dengan sistem hukum civil law yang dianut Indonesia, Prancis, dan Belanda. Dalam peradilan pidana sistem ini, dewan hakimlah yang memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Peran hakim sangat besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Tulang punggung sistem ini adalah profesionalisme dan kejujuran hakim.

Namun dalam praktiknya, sistem penjurianatau peradilansemacam itu kerap menghasilkan kontroversi atau protes, bahkan sejak FFI pertama kali dilaksanakan. Puncaknya terjadi pada FFI 2006, ketika "para hakim" memutuskan film Ekskul sebagai film terbaik. Mereka dianggap lalai karena ilustrasi musik film Ekskul ditengarai menjiplak film asing. Sekelompok generasi muda yang menamakan dirinya Masyarakat Film Indonesia (MFI) memprotes dan meragukan kemampuan panitia dalam menyelenggarakan festival film.

Berdasarkan pengalaman panjang itu, sistem penjurian diubah mulai 2014. Penilaian akhir tidak lagi dilakukan sekelompok kecil orang, melainkan oleh 100 orang dengan tata cara yang juga baru. Meminjam istilah Thomas S. Kuhn, penjurian FFI sejak 2014 adalah paradigma baru yang menggantikan paradigma lama. Hasilnya, sejak 2014, para anggota MFI kembali percaya kepada FFI dan menyertakan filmnya dalam FFI 2014 hingga sekarang. Bahkan beberapa tokoh MFI terlibat aktif dalam FFI, baik sebagai juri maupun panitia.

Hal itu berbeda dengan sistem common law yang dianut Inggris dan Amerika Serikat, misalnya. Dalam sistem hukum Amerika, jika terdakwa pidana berat (ancaman hukuman enam bulan ke atas) tidak hanya ingin diadili hakim, ia dapat memilih diadili sekelompok "orang luar" atau masyarakat (juror). Para juror, yang biasanya berjumlah 12 orang, inilah yang memberikan keputusan mutlak apakah terdakwa bersalah atau tidak. Jika diputuskan bersalah oleh juror, hakim mencarikan pasal yang tepat dan sesuai dengan kasusnya. Hakim hanya berfungsi menentukan berat-ringannya hukuman. Bila perlu, hakim mencontek dari putusan lama (preseden). Ini sesuai dengan doktrin stare decisis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Model juror ini, dalam batas-batas tertentu, tercermin dalam pemberian Piala Oscar. Di situ, setelah film-film diseleksi panitia, selanjutnya disampaikan kepada "orang luar", yang jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan untuk dinilai. Hasil pilihan orang luar ini dikirim kepada akuntan publik untuk ditabulasi.

Jadi, sistem penjurian FFI sejak 2014 hingga saat ini sedikit-banyak telah dipengaruhi sistem yang berlaku dalam Piala Oscar (common law), yang kemenangan akhirnya tidak lagi ditentukan "dewan juri", melainkan oleh juror.

Perubahan sistem semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi di dunia film, tapi juga dalam sistem ketatanegaraan kita. Sejak dilakukan beberapa kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (1999-2002), muncul aneka badan atau lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, dan Ombudsman, yang tadinya tidak ada atau tidak dikenal dalam sistem hukum civil law. Perubahan itu juga yang membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat, bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, tidak lagi menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden juga dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, presiden tidak bisa lagi membubarkan DPR, serta kekuasaan kehakiman ditegaskan mandiri, yang dilaksanakan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Memang, seperti bahasa, hukum tumbuh dan berkembang. Hukum adalah formulasi dari keinginan rakyat dan tuntutan zamannya. Akhirnya, meski banyak mendapat kritik atas berbagai pemikirannya, saya kutipkan ucapan Friedrich Carl von Savigny yang terkenal: das Rechtskleid ist nicht von dem Schneider gemacht worden für dieses Volk (hukum tidak dibuat, tapi tumbuh bersama masyarakatnya).

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.