Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Tragedi Lisbeth Salander

image-profil

Oleh

image-gnews
Adegan film The Girl In The Spider's Web. Foto: Sony
Adegan film The Girl In The Spider's Web. Foto: Sony
Iklan

Sesungguhnya, sebagai penggemar fanatik tokoh Lisbeth Salander (terutama yang diperankan Noomi Rapace), saya sudah siap mengucapkan selamat berpisah. Ketika bagian pertama trilogi Millenium berjudul “The Girl with the Dragon Tattoo” lahir dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (2008), novel karya Stieg Larsson itu langsung menghebohkan dan meledak di dunia dan segera saja diangkat menjadi film yang disutradarai Niels Arden Oplev (2009).

Ketika novel kedua “The Girl who Played with Fire” (2006) dan yang ketiga “The Girl who Kicked the Hornet’s Nest” (2007) diterbitkan dan diangkat menjadi film maka lengkaplah sudah kisah sukses itu. Trilogi Millenium segera ditasbihkan sebagai salah satu novel terlaris di dunia. Lisbeth Salander, seorang perempuan muda jagoan IT, jenius di dunia maya, hacker jenius yang diburu banyak orang, menjadi pahlawan model baru.

Pembaca dan penonton filmnya tak peduli dengan masa lalu Lisbeth yang gelap. yang berayah yang gemar menyiksa dan wali yang memperkosa, Lisbeth tumbuh dan besar menjadi perempuan yang menyimpan dendam kepada para lelaki yang gemar menyakiti perempuan. Tapi kita juga berkenalan dengan Lisbeth yang tentu saja menjadi dynamic duo bersama wartawan investigatif Mikael Blomkvist. Setiap novel (dan film) bukan hanya berkisah tentang bagaimana Blomkvist dan Lisbeth bekerja sama menguak korupsi atau memburu pembunuh rasis, tetapi sekaligus perlahan menjenguk masa lalu Lisbeth yang luar biasa keji.

Serial yang semula dirancang menjadi 10 novel ini tak sempat diselesaikan karena Larsson wafat pada tahun 2004 sebelum novel pertamanya sempat terbit. Apa yang terjadi pada karya Stieg Larsson memang tak terbayangkan dirinya. Sama seperti tragedi Vincent Van Gogh yang tak pernah sempat melihat perjalanan sukses karyanya, Larsson tewas digedor serangan jantung sebelum novelnya yang pertama terbit. Ketika novel trilogi Millenium dan filmnya sukses besar, ternyata kehidupan pribadi penulisnya pun sama tragisnya dengan tokoh-tokoh yang ditulisnya.

Larsson tak pernah menulis wasiat. Maka kematiannya meninggalkan persoalan besar. Karena partner Larsson, Eva Gabrielsson, secara hukum tak bisa memperoleh warisan dan hak cipta karya Larsson, maka seluruh warisan dan hak cipta jatuh ke tangan keluarganya: yakni ayah dan saudara lelakinya. Yang ironis adalah ayah dan saudara lelakinya tak saling berbicara dengan Larsson selama hidupnya, sementara Eva Gabrielsson, partner yang hidup bersama selama 20 tahun, justru memegang seluruh naskah-naskah Larsson yang belum diterbitkan.

Acara rebutan naskah pada laptop milik Gabrielsson tersebut terjadi sedemikian memalukan dan bisa membangunkan sang penulis dari kubur itu, hingga akhirnya terjadilah tragedi itu: pemegang resmi warisan (bokap dan saudara lelaki) mengijinkan David Lagercrantz menulis novel ke 4 serial ini berdasarkan tokoh-tokoh dan jalan cerita yang sudah melekat di benak pembacanya. Judul novel keempat yang terbit tiga tahun silam itu adalah “The Girl in the Spider Web” yang kemudian diterjemahkan ke dalam 38 bahasa dan diangkat menjadi film.

Adegan film The Girl In The Spider's Web. Foto: Sony

Kali ini mesin Hollywood menghidupkan Lisbeth Salander melalui tangan sutradara Fede Àlvarez. Lisbeth Salander yang diperankan dengan cemerlang oleh Noomi Rapace (dalam film versi asli Swedia) dan Rooney Mara (versi sutradara David Fincher) kini menjelma menjadi seorang Lisbeth yang bermata bulat indah, beraksen campur-campur Amerika, Inggris dan Swedia oleh aktris Claire Foy.

Persoalan yang dihadapi Lisbeth juga bukan lagi persoalan “lokal”, melainkan berbau-bau James Bond dan MI-5, karena dia harus berkejaran dengan sebuah kelompok jahat dan ambisius yang disebut sebagai Spider Society. Adapun kelompok berbahaya ini tak pernah diketahui ‘wajah’nya, tetapi Lisbeth merasa harus menyelematkan seorang ahli komputer dan puteranya yang dikejar kelompok tersebut.

Sebetulnya yang diperebutkan di sepanjang film ini adalah angka-angka password untuk mengoperasikan sebuah mesin nuklir. Yeah, kali ini Lisbeth ditasbihkan menjadi James Bond perempuan yang bertato dan dengan masa kecil suram.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu saja masa kecil suram itu—ayah yang jahat dan pedofil, kakak yang mendadak saja muncul—harus menjadi salah satu subplot yang akan melemahkan Lisbeth yang perkasa.

Semakin lama, cerita ala “James Bond” itusemakin ribet karena diaduk-aduk dengan kisah personal Lisbeth yang sulit dipercaya. Si kakak mendadak saja muncul dalam kejar-mengejar ini. Bukan main ajaibnya.

Pada novelnya yang pertama, Larsson memang membangun sebuah jagat di mana para lelaki di jamannya masih membenci dua hal: perempuan dan bangsa Yahudi. Kekejian yang lahir sebuah keluarga besar itu lahir karena berbagai hal. Salah satunya konon di saat Larsson masih muda, terjadi peristiwa seorang siswa SMA yang diperkosa beberapa lelaki. Dia begitu traumatik dan bertanya-tanya mengapa ada lelaki yang lahir untuk membenci perempuan. Itulah sebabnya novelnya yang pertama berjudul “Män som Hatar Kvinnor” yang berarti “Lelaki yang Membenci Perempuan”.

Adegan film The Girl In The Spider's Web. Foto: Sony

Inilah roh yang mengisi tubuh Lisbeth: bahwa dia harus membela perempuan mana
saja yang mendapatkan perlakukan buruk, apakah oleh ayahnya, kakak atau adik lelakinya atau mungkin atasannya. Di dalam serial keempat ini, Lisbeth tiba-tiba saja harus menghadapi kakak perempuannya. Tak dijelaskan mengapa kakak perempuannya lebih ‘bangga’ menjadi anak kesayangan bapaknya, dan tak jelas pula mengapa si kakak membeni adiknya. Kalau bukan karena Claire Foy, aktris keren pemeran Ratu Elizabeth itu, dan kalau bukan karena sinematografi yang dingin, biru dan sangat “Skandinavia’ itu, terus terang film ini sudah mirip sinetron : si kakak jahat melawan si adik baik. Si kakak berbaju merah beralis putih, si adik bersosok tomboy dan berantakan.

Film ini sangat mengecewakan dan sangat menjengkelkan dua pihak: pertama, para penggemar Lisbeth Salander sudah pasti merasa dikhianati oleh siapapun yang begitu tega mengobrak-abrik kisah Lisbeth (omong-omong sosok Mikael Blomkvist dalam film ini kasihan sekali, tak ada artinya dan kerjanya hanya memandang Lisbeth dengan sendu sembari sesekali membantunya). Kedua, peristiwa ini adalah peringatan bagi para penulis –yang novelnya laris manis dan tampak cocok diangkat menjadi film— agar menulis wasiat resmi. Tulislah dengan jelas siapa yang berhak memutuskan ‘nasib’ karyamu. Jika tidak, maka nasib karyamu akan merana seperti yang terjadi pada karya Stieg Larsson.

The Girl In The Spider's Web

Sutradara: Fede Àlvarez
Skenario: Jay Basu, Fede Álvarez, Steven Knight
Berdasarkan novel karya David Lagercrantz
Terinspirasi tokoh-tokoh dan novel karya Stieg Larsson
Pemain: Claire Foy, Sverrir Gudnason

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

2 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

6 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

22 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

22 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

43 hari lalu

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

45 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

45 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

51 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

52 hari lalu

Warga membawa beras dan bantuan presiden pada acara Penyaluran Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah di Gudang Bulog, Telukan, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis 1 Februari 2024. Presiden memastikan pemerintah akan menyalurkan bantuan 10 kilogram beras yang akan dibagikan hingga bulan Juni kepada 22 juta masyarakat Penerima Bantuan Pangan (PBP) di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Terkini: Seruan Pemakzulan Jokowi karena Penyelewengan Bansos, Gaji Ketua KPU yang Melanggar Etik Loloskan Gibran

Berita terkini: Seruan pemakzulan Presiden Jokowi karena dugaan penyelewengan Bansos, gaji Ketua KPU yang terbukti langgar etik meloloskan Gibran.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.