Sesungguhnya, sebagai penggemar fanatik tokoh Lisbeth Salander (terutama yang diperankan Noomi Rapace), saya sudah siap mengucapkan selamat berpisah. Ketika bagian pertama trilogi Millenium berjudul “The Girl with the Dragon Tattoo” lahir dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (2008), novel karya Stieg Larsson itu langsung menghebohkan dan meledak di dunia dan segera saja diangkat menjadi film yang disutradarai Niels Arden Oplev (2009).
Ketika novel kedua “The Girl who Played with Fire” (2006) dan yang ketiga “The Girl who Kicked the Hornet’s Nest” (2007) diterbitkan dan diangkat menjadi film maka lengkaplah sudah kisah sukses itu. Trilogi Millenium segera ditasbihkan sebagai salah satu novel terlaris di dunia. Lisbeth Salander, seorang perempuan muda jagoan IT, jenius di dunia maya, hacker jenius yang diburu banyak orang, menjadi pahlawan model baru.
Pembaca dan penonton filmnya tak peduli dengan masa lalu Lisbeth yang gelap. yang berayah yang gemar menyiksa dan wali yang memperkosa, Lisbeth tumbuh dan besar menjadi perempuan yang menyimpan dendam kepada para lelaki yang gemar menyakiti perempuan. Tapi kita juga berkenalan dengan Lisbeth yang tentu saja menjadi dynamic duo bersama wartawan investigatif Mikael Blomkvist. Setiap novel (dan film) bukan hanya berkisah tentang bagaimana Blomkvist dan Lisbeth bekerja sama menguak korupsi atau memburu pembunuh rasis, tetapi sekaligus perlahan menjenguk masa lalu Lisbeth yang luar biasa keji.
Serial yang semula dirancang menjadi 10 novel ini tak sempat diselesaikan karena Larsson wafat pada tahun 2004 sebelum novel pertamanya sempat terbit. Apa yang terjadi pada karya Stieg Larsson memang tak terbayangkan dirinya. Sama seperti tragedi Vincent Van Gogh yang tak pernah sempat melihat perjalanan sukses karyanya, Larsson tewas digedor serangan jantung sebelum novelnya yang pertama terbit. Ketika novel trilogi Millenium dan filmnya sukses besar, ternyata kehidupan pribadi penulisnya pun sama tragisnya dengan tokoh-tokoh yang ditulisnya.
Larsson tak pernah menulis wasiat. Maka kematiannya meninggalkan persoalan besar. Karena partner Larsson, Eva Gabrielsson, secara hukum tak bisa memperoleh warisan dan hak cipta karya Larsson, maka seluruh warisan dan hak cipta jatuh ke tangan keluarganya: yakni ayah dan saudara lelakinya. Yang ironis adalah ayah dan saudara lelakinya tak saling berbicara dengan Larsson selama hidupnya, sementara Eva Gabrielsson, partner yang hidup bersama selama 20 tahun, justru memegang seluruh naskah-naskah Larsson yang belum diterbitkan.
Acara rebutan naskah pada laptop milik Gabrielsson tersebut terjadi sedemikian memalukan dan bisa membangunkan sang penulis dari kubur itu, hingga akhirnya terjadilah tragedi itu: pemegang resmi warisan (bokap dan saudara lelaki) mengijinkan David Lagercrantz menulis novel ke 4 serial ini berdasarkan tokoh-tokoh dan jalan cerita yang sudah melekat di benak pembacanya. Judul novel keempat yang terbit tiga tahun silam itu adalah “The Girl in the Spider Web” yang kemudian diterjemahkan ke dalam 38 bahasa dan diangkat menjadi film.
Adegan film The Girl In The Spider's Web. Foto: Sony
Kali ini mesin Hollywood menghidupkan Lisbeth Salander melalui tangan sutradara Fede Àlvarez. Lisbeth Salander yang diperankan dengan cemerlang oleh Noomi Rapace (dalam film versi asli Swedia) dan Rooney Mara (versi sutradara David Fincher) kini menjelma menjadi seorang Lisbeth yang bermata bulat indah, beraksen campur-campur Amerika, Inggris dan Swedia oleh aktris Claire Foy.
Persoalan yang dihadapi Lisbeth juga bukan lagi persoalan “lokal”, melainkan berbau-bau James Bond dan MI-5, karena dia harus berkejaran dengan sebuah kelompok jahat dan ambisius yang disebut sebagai Spider Society. Adapun kelompok berbahaya ini tak pernah diketahui ‘wajah’nya, tetapi Lisbeth merasa harus menyelematkan seorang ahli komputer dan puteranya yang dikejar kelompok tersebut.
Sebetulnya yang diperebutkan di sepanjang film ini adalah angka-angka password untuk mengoperasikan sebuah mesin nuklir. Yeah, kali ini Lisbeth ditasbihkan menjadi James Bond perempuan yang bertato dan dengan masa kecil suram.
Tentu saja masa kecil suram itu—ayah yang jahat dan pedofil, kakak yang mendadak saja muncul—harus menjadi salah satu subplot yang akan melemahkan Lisbeth yang perkasa.
Semakin lama, cerita ala “James Bond” itusemakin ribet karena diaduk-aduk dengan kisah personal Lisbeth yang sulit dipercaya. Si kakak mendadak saja muncul dalam kejar-mengejar ini. Bukan main ajaibnya.
Pada novelnya yang pertama, Larsson memang membangun sebuah jagat di mana para lelaki di jamannya masih membenci dua hal: perempuan dan bangsa Yahudi. Kekejian yang lahir sebuah keluarga besar itu lahir karena berbagai hal. Salah satunya konon di saat Larsson masih muda, terjadi peristiwa seorang siswa SMA yang diperkosa beberapa lelaki. Dia begitu traumatik dan bertanya-tanya mengapa ada lelaki yang lahir untuk membenci perempuan. Itulah sebabnya novelnya yang pertama berjudul “Män som Hatar Kvinnor” yang berarti “Lelaki yang Membenci Perempuan”.
Adegan film The Girl In The Spider's Web. Foto: Sony
Inilah roh yang mengisi tubuh Lisbeth: bahwa dia harus membela perempuan mana
saja yang mendapatkan perlakukan buruk, apakah oleh ayahnya, kakak atau adik lelakinya atau mungkin atasannya. Di dalam serial keempat ini, Lisbeth tiba-tiba saja harus menghadapi kakak perempuannya. Tak dijelaskan mengapa kakak perempuannya lebih ‘bangga’ menjadi anak kesayangan bapaknya, dan tak jelas pula mengapa si kakak membeni adiknya. Kalau bukan karena Claire Foy, aktris keren pemeran Ratu Elizabeth itu, dan kalau bukan karena sinematografi yang dingin, biru dan sangat “Skandinavia’ itu, terus terang film ini sudah mirip sinetron : si kakak jahat melawan si adik baik. Si kakak berbaju merah beralis putih, si adik bersosok tomboy dan berantakan.
Film ini sangat mengecewakan dan sangat menjengkelkan dua pihak: pertama, para penggemar Lisbeth Salander sudah pasti merasa dikhianati oleh siapapun yang begitu tega mengobrak-abrik kisah Lisbeth (omong-omong sosok Mikael Blomkvist dalam film ini kasihan sekali, tak ada artinya dan kerjanya hanya memandang Lisbeth dengan sendu sembari sesekali membantunya). Kedua, peristiwa ini adalah peringatan bagi para penulis –yang novelnya laris manis dan tampak cocok diangkat menjadi film— agar menulis wasiat resmi. Tulislah dengan jelas siapa yang berhak memutuskan ‘nasib’ karyamu. Jika tidak, maka nasib karyamu akan merana seperti yang terjadi pada karya Stieg Larsson.
The Girl In The Spider's Web
Sutradara: Fede Àlvarez
Skenario: Jay Basu, Fede Álvarez, Steven Knight
Berdasarkan novel karya David Lagercrantz
Terinspirasi tokoh-tokoh dan novel karya Stieg Larsson
Pemain: Claire Foy, Sverrir Gudnason