Eddi Elison
Pengamat Sepak Bola Nasional
Dengan gagalnya tim nasional (timnas) di Piala ASEAN Football Federation (AFF) 2018 akibat tersisih di babak penyisihan, tidak mengherankan jika reaksi yang dilontarkan komunitas sepak bola menyeruak tajam: Edy Rahmayadi mundur! Ini tuntutan yang wajar, karena dua tahun yang lalu timnas sempat sampai ke final dan akhirnya menduduki tempat kedua (runner-up) setelah dipecundangi oleh Thailand.
Itu adalah runner-up kelima yang dicapai timnas, setelah posisi yang sama dicapai pada 2000, 2002, 2010, dan 2014. Wajar bila kerinduan akan gelar juara begitu bersemi di benak komunitas sepak bola, mengingat begitu Indonesia ikut serta dalam Piala AFF 1996 (dulu bernama Tiger Cup), Tim Garuda belum pernah jadi juara, sementara Thailand sudah lima kali, Singapura empat kali, Vietnam sekali, dan Malaysia sekali. Tahun ini kemungkinan besar Thailand lagi yang menjadi juara.
Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk 260 juta dan pemilik klub terbanyak plus pemain terbanyak pula. Sungguh memprihatinkan jika selama 22 tahun aktif sebagai peserta Piala AFF, Indonesia belum pernah menjadi juara. Padahal, sebelumnya, ada semacam kepercayaan besar kepada Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Letnan Jenderal Purnawirawan Edy Rahmayadi, yang terpilih sebagai ketua dalam Kongres PSSI 10 November 2016 dengan dukungan 76 dari 107 suara menyisihkan pesaingnya, Jenderal Purnawirawan Moeldoko.
Lantas, mengapa setelah lebih dari dua tahun memimpin PSSI, Edy belum mampu mengantar timnas mencapai prestasi yang membanggakan? Ini jelas karena kompetisi, yang menjadi "dinamo" pembinaan prestasi, tidak berjalan sesuai dengan jiwa persepakbolaan. Catat apa yang dikatakan eks pelatih FIFA, Jozef Venglos, ketika berkunjung ke Indonesia beberapa tahun lalu: "Kompetisi yang baik menghasilkan pemain bermutu. Pemain bermutu menghasilkan timnas berkualitas."
Semua negara di dunia mempraktikkan filosofi tersebut, termasuk Indonesia. Bahkan, di era Edy, kompetisi sudah berjalan secara teratur. Sayang, integritas pelaksana kompetisi tidak berorientasi pada strategi peningkatan prestasi, melainkan cenderung ke masalah bisnis.
Hal itu bisa ditandai pada beberapa data peraturan pertandingan yang tidak "seronok" dengan peraturan internasional. Tak mengherankan jika kemudian terjadi skor yang "unik", sehingga banyak pihak melemparkan kecurigaan adanya match fixing di Liga 1 maupun Liga II PSSI. Beberapa pemain Persib Bandung sempat diisukan terima uang dari PSMS Medan.
Penyebab kedua gagalnya Edy adalah keputusan "menyewa" pelatih timnas Spanyol, Luis Milla, yang, setelah cuti pulang mudik, tidak kembali ke Jakarta karena terkait dengan masalah gaji yang belum dibayar. Edy telah menyatakan bahwa soal gaji itu tidak ada masalah. Artinya, PSSI masih sanggup melunasinya.
Tapi mengapa Milla tidak mau kembali? Sudah tentu karena ia menyadari bahwa ia sulit menerapkan "gaya Spanyol" di sini, karena ia tidak menjiwai budaya Indonesia. Apalagi Milla tidak pula bisa berbahasa Inggris dan konon pula bahasa Indonesia. Penyampaian strategi atau jiwa sepak bola yang diinginkannya melalui penerjemah jelas tidak murni seperti yang ia inginkan. Ini ditambah pula dengan masa kontraknya yang pendek.
Pelatih-pelatih yang berhasil di Indonesia, seperti Tony Pogacnik, Wiel Coerver, atau Polosin, umumnya menguasai budaya Indonesia. Mereka memakai cara Indonesia dalam menerapkan materi kepelatihan, bukan "cara impor" seperti dilakukan Milla.
Penyebab kegagalan lainnya adalah terpeliharanya oknum-oknum pengurus PSSI yang orientasi persepakbolaannya kelabu. Hal ini sebenarnya diketahui Edy, seperti pernah disampaikannya kepada saya menjelang Kongres PSSI 2016. Ketika saya menyinggung oknum-oknum PSSI yang terkenal diragukan integritasnya, ia hanya menjawab: "Saya sudah tahu! Pelan-pelan akan saya sisihkan."
Setelah terpilih, toh Edy tidak melaksanakan janjinya itu dan malah menambahinya dengan oknum baru tapi "sejenis". Maka, saya termasuk yang mendukung agar Edy mengundurkan diri. Mundur bukan berarti kalah. Ali Sadikin, Syarnoebi Said, dan Azwar Anas juga mundur demi persepakbolaan nasional sehingga nama-nama mereka tetap dikenang masyarakat persepakbolaan nasional.
Edy punya alasan yang sangat pantas jika memutuskan mundur, mengingat posisinya sebagai Gubernur Sumatera Utara tidak memungkinkannya 100 persen bisa fokus menangani PSSI, yang masalahnya bejibun.