Putu Setia
@mpujayaprema
SUDAH dua bulan lebih kampanye pemilihan umum serentak dimulai. Belum ada gagasan besar yang keluar dari peserta pemilihan umum. Partai peserta pemilu dan calon-calon anggota legislatif yang diusungnya, malah belum ada yang berkampanye. Mereka seperti tak merasa perlu berkampanye. Atau karena mereka lebih asyik mengkampanyekan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusungnya sambil berharap dari situ dapat imbas suara.
Sementara itu, calon presiden dan pasangannya dari kedua kubu juga belum melontarkan gagasan yang besar untuk memecahkan masalah bangsa ini. Kedua kubu, bersama pendukungnya yang militan, sibuk saling menjatuhkan seraya berdebat hal-hal yang tak mutu. Isu yang diangkat masih remeh-temeh seputar harga telur, beras, dan tempe di pasar, sambil bernarasi panjang soal "apa yang bisa didapat dari lima puluh ribu rupiah".
Bagaimana mengelola negara yang besar ini pada masa depan agar tercipta keadilan yang lebih baik? Di mana menaruh otonomi daerah, apakah tetap di kabupaten dan kota atau dipindahkan ke provinsi? Apa risikonya jika dipindah ke provinsi dan bagaimana mengatasi ketidakadilan antar-kabupaten kalau tetap seperti saat ini? Tak ada yang mengeluarkan gagasan soal itu, calon presiden sibuk dengan sontoloyo dan tampang Boyolali.
Apalagi gagasan tentang "memperbaiki konstitusi" agar negara ini kokoh sebagai negara berdasarkan hukum, belum pernah muncul. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 belum sepenuhnya ideal dan banyak yang multitafsir. Contohnya tentang pemilihan presiden dan wakil presiden, tak ada disebut diusung oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi ambang batas suara. Undang-undang di bawahnya yang menambahkan syarat itu. Dan kita akhirnya punya calon yang itu-itu saja, calon yang masih berperang kata soal ketebalan tempe. Tak ada calon alternatif.
Dalam hal konstitusi setidaknya ada tiga gagasan berkembang di masyarakat, tapi masih dengan suara mendayu tipis. Ada yang ingin kembali ke UUD 1945 sebagaimana yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan sering disebut "UUD 45 yang asli". Kalau itu yang terjadi, sungguh suatu kemunduran. Ada yang ingin, sudahlah dibanding repot-repot, status quo saja dengan UUD 1945 hasil amendemen ke-4 ini. Risikonya, banyak hal yang belum ideal selain multitafsir tadi. Lalu muncul pihak yang ingin "memperbaiki konstitusi". Tapi bagaimana caranya? Bisa lewat amendemen ke-5, dan itu artinya lampiran serta penjelasannya jadi bertele-tele. Ada usul, kenapa tidak rombak saja keseluruhannya sehingga kita punya UUD yang "seolah-olah" baru?
UUD yang baru? Kenapa tidak! Gagasan ini disertai dengan syarat, inventarisasi apa saja yang tidak boleh diganti. Misal, dasar negara Pancasila harus tetap ada, artinya pembukaan (preambul) UUD 1945 tetap utuh. Bentuk negara kesatuan, lambang negara, bendera, bahasa, dan hal-hal yang menyangkut hak berserikat, berkeyakinan, berkeadilan, dan sebagainya tetap dipertahankan bahkan dipertegas. Yang "diperbaiki", misalnya, lembaga tertinggi dan tinggi negara, sehingga jelas MPR itu terdiri atas apa, tugasnya apa, wewenangnya apa, dan seterusnya.
Gagasan seperti contoh ini belum pernah datang dari calon-calon presiden kita maupun dari elite partai politik peserta pemilu. Gagasan "memperbaiki konstitusi" justru muncul dari para budayawan berbagai daerah yang bertemu pekan lalu di Jakarta dalam acara yang disebut "Mufakat Kebangsaan". Ini bukan gagasan asal-asalan karena pembahasannya sampai ke soal teknis, siapa yang harus merancang "konstitusi baru" itu.