Dewan Perwakilan Rakyat kian menunjukkan tidak punya iktikad baik dalam menyokong penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan. Para wakil rakyat malah mengulurulur pembahasan rancangan undangundang tersebut, padahal sudah masuk Program Legislasi Nasional 2016.
Alasan penundaan pun mengadaada. Semula anggota Dewan berdalih pembahasan mandek karena mereka berfokus pada undangundang anggaran dan haji. Belakangan, rancangan undangundang itu dianggap terlalu sekuler dan membawa suara feminis, tak sesuai dengan budaya Indonesia. Mereka menginginkan penegakan hukum dalam undangundang tersebut tidak berlebihan.
Sebagai pengusul, DPR semestinya menjadi yang terdepan untuk merampungkan pembahasan. Namun sejak awal DPR seperti ogahogahan. Meski rancangan itu sudah tiga tahun masuk dalam program legislasi nasional, Komisi VIII baru membentuk panitia kerja pada September tahun lalu dan baru lima kali menggelar rapat dengan mengundang ahli dan wakil lembaga masyarakat. Akibatnya, payung hukum yang disiapkan untuk melindungi warga negara dari kejahatan seksual praktis jalan di tempat.
Kehadiran undangundang tersebut sudah sangat mendesak. Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap Perempuan menyebutkan angka kekerasan seksual meningkat setiap tahun. Pada 2013, angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 279.688. Tahun lalu, angka itu menembus 348.446 kasus. Tak mengherankan bila Indonesia masuk kategori darurat kekerasan seksual.
Pemerintah juga punya andil dalam mandeknya pembahasan rancangan undangundang penghapusan kekerasan seksual itu. Semula, draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang disusun Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan memiliki 15 bab dengan 184 pasal. Saat dibahas di Badan Legislasi DPR, naskah RUU menyusut menjadi 15 bab dengan 152 pasal. Ketika dibahas bersama pemerintah, daftar inventarisasi yang disusun hanya memuat 13 bab dengan 52 pasal.
Pemerintah berdalih sejumlah pasal dikurangi karena telah diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Faktanya, kejahatan seksual yang diatur dalam KUHP hanya sebatas pencabulan dan pemerkosaan. KUHP juga tidak memberikan jaminan perlindungan dan pemulihan kepada korban kekerasan.
Pemerintah masih melihat kekerasan seksual sebagai pelanggaran ketenteraman dan ketertiban masyarakat, bukan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan kemanusiaan. Tak mengherankan bila pemerintah hanya memasukkan empat bentuk kekerasan seksual. Sementara itu, RUU versi DPR mengakomodasi sembilan bentuk kekerasan seksual. Daftar inventarisasi masalah yang disusun pemerintah juga tidak mengatur bentuk hak korban, termasuk perlindungan hingga pemulihan lanjutan. Langkah mundur ini bisa melemahkan tujuan awal pengusulan rancangan undangundang.
Seharusnya DPR bersama pemerintah lebih serius merumuskan aturan mengenai penghapusan kekerasan seksual. Tanpa hal itu, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dan proses penegakan hukum tidak akan pernah maksimal.