Pemerintah seharusnya tidak menurunkan standar penerimaan calon pegawai negeri sipil dengan mengabaikan passing grade atau nilai ambang kelulusan. Penurunan standar calon pegawai hanya akan memperlambat perbaikan mutu aparat negara sekaligus merusak program reformasi birokrasi.
Kebijakan tambal-sulam itu dilakukan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin, baru-baru ini. Ia menetapkan penggunaan sistem ranking dalam Seleksi Kompetensi Dasar Calon PNS. Tujuannya agar jumlah peserta yang lulus ke tahap seleksi selanjutnya sesuai dengan kebutuhan. Dalam seleksi terakhir, hanya sekitar 100 ribu calon yang memenuhi nilai ambang. Padahal pemerintah membutuhkan ratusan ribu pegawai baru.
Menteri Syafruddin semula hendak menurunkan nilai ambang. Tapi belakangan ia menerapkan sistem ranking tanpa mengutak-atik nilai ambang. Masalahnya, meskipun passing grade tidak diturunkan atau dihapus, penerapan sistem peringkat membuat aturan nilai ambang dalam proses seleksi menjadi tidak relevan. Asalkan peserta tes menempati peringkat yang sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, ia akan lulus meski hasil tesnya jauh di bawah nilai ambang.
Langkah itu jelas tidak sejalan dengan kampanye pemerintah yang menjanjikan perbaikan mutu aparat negara dan reformasi birokrasi. Presiden Joko Widodo pun, dalam banyak kesempatan, selalu berbicara soal pentingnya memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk menopang Indonesia dalam persaingan global. Semestinya tekad Presiden tecermin pula dalam kebijakan perekrutan pegawai negeri.
Jika calon pegawai yang memenuhi syarat hanya sedikit, pemerintah tidak perlu memaksakan untuk memenuhi seluruh kebutuhan tenaga birokrasi pada tahun ini. Mekanisme seleksi yang dikeluhkan banyak peserta perlu dievaluasi lebih dulu. Boleh jadi pula, banyaknya jumlah calon merupakan cermin dari buruknya kualitas pendidikan kita.
Cara-cara pragmatis boleh saja dilakukan pemerintah jika berada dalam kondisi krisis pegawai. Dalam situasi seperti itu, kita bisa mengorbankan kualitas dengan merekrut sebanyak-banyaknya aparat sipil. Masalahnya, kita tidak sedang berada dalam kondisi krisis jumlah pegawai negeri, melainkan krisis kualitas pegawai negeri. Maret lalu, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi mengatakan mutu aparat sipil Indonesia, berdasarkan indeks efektivitas pemerintah, masih amat rendah. Dari skala 1-100, nilai mutu pegawai kita hanya 53, sementara Malaysia sudah 86 dan Singapura 90.
Dengan kondisi seperti itu, pemerintah sebaiknya bertahan pada standar penerimaan calon pegawai negeri sipil yang telah ditetapkan. Cara instan dalam merekrut pegawai hanya memberi kesan bahwa pemerintah sekadar ingin merebut hati rakyat demi kepentingan pemilu, tapi mengorbankan upaya peningkatan mutu birokrasi.