Edy Rahmayadi sepatutnya mempertimbangkan rangkap jabatannya sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Gubernur Sumatera Utara. Kegagalan beruntun tim nasional semestinya menjadi perhitungan penting bahwa mengurus asosiasi olahraga sebesar PSSI tak bisa dilakukan sambil lalu, melainkan perlu perhatian dan konsentrasi penuh.
Jebloknya prestasi tim nasional dalam Piala AFF 2018 menjadi petunjuk tegas soal tidak beresnya PSSI menyiapkan wakil Indonesia berlaga di pentas Asia Tenggara itu. Datang dengan target juara, tim nasional cuma bertengger di posisi keempat dari lima negara di fase grup. Kegagalan semestinya diakui dengan rendah hati, sedangkan Edy malah menyalahkan pihak lain, termasuk wartawan.
Terpilih dalam Kongres PSSI November 2016, pada kepengurusan Edy mulai bermunculan masalah, seperti isu pengaturan skor dan kekerasan antar-pendukung klub. Selama Edy menjabat, sembilan suporter tewas di dalam dan di luar stadion. Wajar jika publik mengaitkan kebobrokan sepak bola nasional dengan rangkap jabatan Edy. Mustahil organisasi yang bermarkas di Jakarta bisa berjalan mulus dengan pemimpin yang berdomisili di Medan. Terbukti, Komite Eksekutif PSSI mengeluh kesulitan menemuinya.
Dalam perhelatan AFF 2018, Edy tidak pernah menyemangati pasukan Garuda di stadion. Mengurus tim nasional hanyalah secuil dari setumpuk tugas PSSI, di samping membina pemain usia dini, kompetisi antar-kelompok usia, pelatihan wasit serta pelatih, dan lain-lain. Semuanya bertujuan membentuk tim nasional yang kuat. Kalau di muara saja dia tidak terlihat, bagaimana mungkin dia hadir di sektor lain?
Edy juga menjabat Ketua Dewan Pembina PSMS Medan. Dia boleh saja menampik adanya konflik kepentingan. Namun sulit dibantah bahwa klub itu kerap beruntung. Misalnya saat nyaris tidak lolos verifikasi soal kelayakan stadion untuk berlaga di Liga 1, kasta tertinggi sepak bola Indonesia, Maret lalu. Pada Oktober 2017, PSMS juga hanya diberi sanksi empat pertandingan sonder penonton pasca-kematian suporter Persita Tangerang yang diduga dikeroyok pendukung PSMS.
Statuta PSSI memang tidak mengatur soal rangkap jabatan. Namun, demi kelancaran organisasi, ketua umum haruslah orang yang bisa menyediakan sepenuh waktunya untuk mengurus sepak bola, olahraga terpopuler di dunia. Presiden Federasi Sepak Bola Malaysia, Datuk Hamidin Mohammad Amin, yang terpilih pertengahan tahun ini, bisa menjadi contoh. Ia mantan bankir yang merangkak menjadi pengurus sepak bola dari level suporter klub, sebelum menapak menjadi orang nomor satu.
Pengurus PSSI bisa mengakomodasi suara suporter tim nasional lewat Kongres PSSI 2019, Januari mendatang. Jika agenda pergantian ketua umumyang masa tugasnya masih dua tahun lagitidak kunjung tercantum, asosiasi daerah dapat menginisiasi kongres luar biasa. Langkah konkret perlu diambil, mengingat terdapat sejumlah agenda penting sepak bola pada tahun depan, termasuk SEA Games dan kualifikasi Piala Asia U-23. Namun alangkah baiknya jika Edy yang memutuskan mengundurkan diri. Toh, dia sendiri mengakui "capek" dan "banyak urusan" saat ditanya soal keterpurukan tim nasional.