Penghentian sementara pengerjaan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung di jalan tol Jakarta-Cikampek memperlihatkan lemahnya perencanaan dalam pembangunan sarana transportasi tersebut. Hal ini juga menambah kental keraguan atas manfaat proyek tersebut bagi publik.
Moratorium pengerjaan proyek itukhusus di jalan tol Jakarta-Cikampek Kilometer 11-17 direncanakan berlangsung selama 3-4 bulan. Turut dihentikan sementara proyek kereta layang ringan (light rail transit/LRT). Pemerintah beralasan melakukan itu untuk mengurangi kemacetan, lantaran pada saat bersamaan tiga proyek tengah dikerjakan di ruas tersebut.
Kementerian Perhubungan memilih mendahulukan penyelesaian jalan tol layang Jakarta-Cikampek. Proyek itu diprioritaskan karena harus selesai sebelum Lebaran tahun depan. Sedangkan target penyelesaian proyek kereta cepat dan LRT masing-masing pada 2021 dan 2019.
Penghentian mungkin sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat yang tak sabar menghadapi kemacetan. Tapi, di sisi lain, kemacetan itu sesungguhnya dampak dari kesalahan pemerintah dalam perencanaan. Seharusnya penetapan ketiga proyek di atas sudah memperhitungkan kemacetan yang bakal terjadi dan mempersiapkan solusinya.
Pemerintah dan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia-China (terdiri atas PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan China Railway International Co) mengklaim penundaan proyek di jalan tol Jakarta-Cikampek itu tak akan membuat penyelesaiannya meleset dari target. Kebenarannya masih perlu ditunggu. Sejauh ini, kemajuan proyek tersebut belum menggembirakan. Pembebasan lahan proyek sepanjang 142,3 kilometer baru rampung 80 persen dan proses konstruksinya baru 3,2 persen.
Kalaupun target penyelesaian itu tercapai, tantangan lebih besar menanti. Proyek senilai US$ 6,071 miliar atau sekitar Rp 85 triliun ini sejak awal sudah dikritik karena dinilai dipaksakan dan dilakukan tanpa kajian matang. Selain masalah lingkungan, ada keraguan investasi yang besar tersebut bisa cepat kembali.
Dana proyek yang mayoritas dipinjam dari China Development Bank bisa menjadi masalah. Dengan kondisi nilai tukar yang sempoyongan dan pendapatan proyek yang hanya didapat dalam rupiah, pinjaman dalam bentuk mata uang asing mengundang risiko besar. Nilai pengembalian utang plus bunga bisa bertambah berkali lipat.
Kondisi itu berpotensi menimbulkan lingkaran setan. Pengelola dan pemerintah akan kesulitan menentukan tarif yang pas. Tanpa subsidi, pengelola mendapat pemasukan besar. Tapi, jika tiket terlalu mahal, target penumpang yang ditetapkan68 ribu pada 2030ada kemungkinan sulit dicapai. Bila pemasukan lain dari bisnis berbasis transit tak bisa menutupi defisit yang ada, pengelola pun terancam merugi.
Skenario muram seperti itulah yang dikhawatirkan akan terjadi, memaksa pemerintah mengeluarkan subsidi yang akhirnya membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Semestinya, proyek mercusuar yang berpotensi membebani pemerintah seperti kereta cepat ini dihindari sejak awal.