Wasisto Raharjo Jati
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
Di Beberapa kota besar di Indonesia sekarang ini telah menggejala tren religiositas dan konservatisme di ruang publik. Hal tersebut bisa ditunjukkan oleh berbagai macam ekspresi kesalehan yang kini ditampilkan oleh kelas menengah Indonesia dalam keseharian mereka. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa agama, yang semula adalah ranah privasi dan sensitif, menjadi ranah publik dan persuasif.
Pemandangan ini menjadi jamak ditemui, baik di dunia maya maupun dunia nyata. Di ranah dunia maya, kutipan ayat dan ceramah agama menjadi dalil untuk menguatkan dan melemahkan opini. Ia juga digunakan untuk mengkritik pihak yang tidak sesuai pandangan dengan ungkapan peyoratif. Kondisi tersebut jelas merupakan hal yang tidak bersahabat dalam membangun kohesivitas politik.
Adapun di dunia nyata, publik kini seolah-olah terbius oleh agama secara dogmatik, baik secara langsung maupun tidak. Hal ini jelas menjadi sinyalemen kurang menyenangkan terhadap mereka yang berasal dari latar belakang berbeda. Konservatisme, yang terutama ditandai oleh sikap chauvinistik dengan simbol, justru telah mengaburkan adanya akal sehat.
Sekarang hoaks dengan cepat menyebar di kalangan kelas menengah terpelajar karena mereka telah mencandu virus konservatif. Pencapaian dalam prestasi akademik, yang esensinya menjadi manusia matang secara pemikiran, malah justru menjadi bebal karena terlalu terpaku pada dogma tertentu. Semakin intelektual kelas menengah seharusnya diikuti oleh sikap dan perilakunya untuk menjadi kalangan kritis, bukan menjadi kalangan nyinyir.
Tentunya kita tidak berharap konservatisme ini mengarah pada Talibanisasi, yang jelas melenceng dari tujuan Republik. Namun setidaknya perlu disadari bahwa bersikap konservatif itu adalah hak, tapi jangan sampai hak itu digunakan untuk memberi cap sosial kepada orang-orang lain. Intimidasi berbasis konservatisme ini jelas akan merusak semangat kebinekaan.
Masyarakat pun hanyut dalam berbagai macam kesalehan simbolis yang mengarahkan pada identifikasi individu sebagai bagian dari mayoritas atau minoritas. Kondisi semacam ini menjadi lampu kuning bagi kebebasan berekspresi dan berpartisipasi dalam demokrasi karena agama menjadi penyaring dalam melakukan persekusi dan alienasi.
Sementara itu, para elite politik seperti paham betul mengenai kondisi mengerasnya konservatisme ini dengan berupaya mengompori dengan isu-isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) sebagai mesin pendulang suara. Setelah itu, mereka tidak lagi berpikir mengenai dampak politisasi yang telah merebak di akar rumput dan viral di dunia maya. Pola perilaku politik seperti ini jelas akan semakin memperkeruh suasana dan tidak menjembatani persatuan Indonesia.
Bagi masyarakat Indonesia timur, momen ini akan semakin menguatkan pembentengan budaya mereka dari pengaruh Jawa, khususnya Jakarta. Fenomena tersebut telah terjadi di berbagai tempat, khususnya daerah-daerah di Indonesia timur yang memiliki karakter berbeda dengan Indonesia barat. Sekarang ini saja, konservatisme, yang memuncak setelah Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017, telah membuat banyak daerah membendung pengaruh Jawa di daerahnya. Harus diakui bahwa kelas menengah Jakarta adalah korban keganasan konservatisme, yang mengajak pada sikap saling bermusuhan satu sama lain.
Konservatisme kelas menengah Indonesia lainnya bisa disimak dari semakin intensifnya ajakan untuk beribadah secara massal dan masif. Dalam taraf tertentu, ajakan semacam ini menjadi hal positif untuk kembali mengingat Sang Pencipta. Yang menjadi masalah bila itu menjadi parameter untuk menilai kapasitas individu dalam kehidupan sehari-hari. Tren semacam ini jelas meresahkan karena nanti akan ada semacam gerakan purifikasi di ruang publik yang tujuannya untuk melakukan segregasi sosial.
Hal urgen dan signifikan yang perlu kelas menengah lakukan dalam menanggulangi gejala konservatisme ini adalah bertindak sewajarnya dan jangan menjadi polisi moral atas orang lain. Jangan pula suatu isu selalu dikaitkan dengan figur politik tertentu. Ini sebenarnya menunjukkan pola pikir picik untuk meraih keuntungan politik tertentu.