Hasil survei Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjukkan tingginya potensi segregasi sosial berdasarkan ras dan etnis di negara kita. Kesadaran masyarakat akan pentingnya sikap antidiskriminasi juga rendah. Temuan ini merupakan peringatan bagi kita semua, terutama para pemimpin politik, agar lebih peduli terhadap keutuhan bangsa.
Survei yang digelar bersama tim Litbang Kompas itu dilakukan di 34 provinsi dan melibatkan 1.207 responden. Salah satu temuan yang mengejutkan adalah sebanyak 58,5 persen responden mengaku masih mendengar pidato yang bernada diskriminatif. Potensi segregasi sosial atau pengucilan juga terlihat. Sebanyak 82,7 persen responden merasa lebih nyaman jika tinggal bersama dengan sesama rasnya. Adapun 83,1 persen responden memilih tinggal bersama dengan sesama sukunya.
Sungguh berbahaya jika para pemimpin politik justru memanfaatkan situasi sosial yang kurang sehat itu demi kepentingan pemilu. Memainkan isu ras, suku, dan agama, yang biasa disebut sebagai politik identitas, mungkin bisa mendulang dukungan politik secara mudah dan murah. Tapi dampaknya akan buruk bagi bangsa ini: polarisasi berdasarkan ras, suku, dan agama bisa semakin lebar.
Rawannya masalah sosial itu juga telah terdeteksi dari survei yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada April–Juli lalu. Hasil survei terhadap 145 ahli politik, ekonomi, dan sosial-budaya ini mengungkapkan bahwa penggunaan politik identitas masih kuat. Sebanyak 40 persen responden menyatakan politik identitas dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) berpotensi mengganggu Pemilu 2019.
Para kontestan pemilihan presiden dan pemilu legislatif sebaiknya justru membantu Komnas HAM dengan ikut mengkampanyekan sikap antidiskriminasi. Kesadaran masyarakat kita mengenai hal ini masih rendah. Sesuai dengan hasil survei Komnas HAM, sebagian masyarakat (43,3 responden) juga belum mengetahui bahwa tindakan diskriminatif bisa dipidana. Rendahnya pemahaman ini amat memprihatinkan karena sudah cukup lama kita memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Dalam undang-undang itu jelas diatur ancaman pidana bagi orang yang bersikap diskriminatif. Tindakan dan ucapan yang bernada diskriminatif, baik dengan sikap serius maupun sekadar bercanda, bisa diancam hukuman 1 tahun penjara. Adapun orang yang menunjukkan kebencian terhadap ras dan etnis tertentu bisa dibui sampai 5 tahun penjara.
Bukan hanya masyarakat luas yang perlu mengetahui aturan tersebut, tapi juga para kontestan pemilu. Kampanye menggunakan politik identitas amat berpotensi melanggar UU Antidiskriminasi. Meraih dukung politik dengan mempermainkan isu ras, suku, ataupun agama juga akan menimbulkan banyak mudarat karena memecah-belah masyarakat.