Suara Freddy Mercury adalah suara bening. Suara yang bergelora.
Dan yang membuat kita terus menerus intim dengannya adalah karena suara dan musiknya melekat di dalam hati, pikiran, dan tubuh kita. Selama-lamanya.
Karena Mercury adalah seorang legenda, justru kita –generasi yang tumbuh mendengarkan suaranya – mungkin harus bisa menahan emosi dan tidak kelojotan sendiri jika sineasi film ini terlalu banyak menggunakan lisensi kreatifnya.
Siapapun yang ‘ditugaskan’ membuat film biopik tokoh terkemuka—dengan ganjaran honor semanis apapun—harus siap dihujat, terutama oleh fans fanatik yang sudah menumpahkan kemarahan yang berember-ember karena penulis skenario Anthony McCarten (Theory of Everything, The Darkest Hour) bukan saja mengacak-acak kronologi beberapa peristiwa penting dalam hidup Freddy Mercury dan Queen, tapi bahkan menambah-nambah fragmen dan tokoh fiktif untuk menambah dramatisasi plot.
Adapun film ini memulai secercah adegan detik-detik Freddy Mercury (Rami Malek) berjalan di belakang panggung. Kamera menyorot dari belakang dan mengikuti gerak gerik tubuhnya yang bergerak di dalam celana panjang putih dan kaus tanpa lengan berwarna putih serta gelang yang memeluk lengannya. Para penggemar fanatik Queen akan segera tahu: inilah saat Queen bersatu lagi—setelah beberapa tahun vakum dan berkarir solo—untuk pertunjukan Live Aid.
Adegan personel Queen saat mengisi acara musik amal terbesar Live Aid di Wembley Stadium tahun 1985. (Twentieth Century Fox Films)
Lantas kita diperkenalkan masa lalu Freddy dan keluarganya, di mana dia masih bernama Farookh Bulsara, putera sulung keluarga Parsi di mana sang Ayah menghela napas melihat si sulung gondrong berjaket kulit menghabiskan malam-malam di klub entah untuk apa.
Hanya Freddy yang tahu bahwa band Smile adalah takdirnya. Pertemuannya yang pertama dengan yang kelak kita kenal sebagai lead-guitarist Queen, Brian May (Gwilym Lee) dan penabuh drum Roger Taylor (Ben Hardy), menurut versi film ini di belakang panggung persis ketika lead-singer mereka menyatakan diri keluar. Freddy mengajukan diri sebagai pengganti. Semula dia ditolak karena “tak mungkin kau tampil dengan gigi seperti itu.” Freddy tak mundur. Dengan gaya audisi American Idol dia menyanyikan salah satu bait band Smile dengan oktaf tinggi. Tentu saja mereka terpana, dan terpesona. Selanjutnya adalah sejarah. Freddy bergabung dengan mereka. Dia mengganti nama band dengan Queen karena “perwujudan kami yang agung, darling” (demikian dia selalu menyebut lawan bicaranya). Dia tahu kata ‘Queen’ akan memberikan aroma gay, dan Freddy menjawab bahwa “itu hanya salah satu faktor.”
Selebihnya adalah pilihan Bryan Singer untuk mengajukan ‘milestone’ Queen: bagaimana Freddy Mercury dengan gila memasukkan unsur opera sepanjang enam menit yang memasukkan berbagai unsur genre rock , yang kemudian disambut dengan wajah bingung oleh Eksekutif Studio Ray Foster (Mike Myers) yang menekankan “tak ada yang boleh melewati 3 menit”; atau ketika Mercury melamar Mary Austin (Lucy Boynton), satu-satunya perempuan yang dicintainya yang kemudian akhirnya berpisah dan tetap berkawan baik ketika Freddy mengakui dia seorang biseksual. “Kamu gay, Freddy,” demikian jawab Mary.
Persoalan besar dalam film ini adalah sikap film ini terhadap homoseksualitas Freddy yang diperlakukan seperti sesuatu yang tertutup, ‘ogah dikuak’ dan disentuh sesekali hanya kalau terpaksa. Mereka tak mau mengakui bahwa kebesaran Queen dan Freddy Mercury bukan saja musiknya yang melakukan cross-genre dan suara Freddy yang mencapai empat oktaf, tetapi juga karena diksi dalam liriknya dan stage-act yang –suka atau tak suka—tak bisa dipisahkan dari gaya dan jiwa Freddy. Dari nama Queen, simbol band yang merupakan gabungan zodiak anggota, kostum berwarna gebyar-gebyar penuh renda itu adalah bagian dari Freddy yang penuh gelora, yang androgini, yang tak mau meletakkan diri dalam kotak apapun dan membebaskan dirinya dari struktur dan aturan apapun –termasuk melepas musik sepanjang enam menit berjudul Bohemian Rhapsody ke telinga kita.
Terlepas penampilan Rami Malek yang luar biasa –tak mengapa tubuhnya tak setinggi dan tak sekekar Freddy, dia tetap mampu menampilkan Mercury—keseluruhan tubuh cerita film ini sebetulnya lemah. Tentu saja penonton akan paham bahwa tak mungkin mereka menggambarkan masterpiece seperti “Bohemian Rhapsody” tercipta selama bertahun-tahun dan lirik yang dianggap misterius itu hingga kini masih menjadi sumber analisis berkepanjangan oleh para ahli musik. Tetapi menampilkannya sebagai kolase saja –apalagi judul lagu ini yang kemudian menjadi judul film—sungguh tak sepadan karena semakin jelas film ini hanya berniat membuat sekumpulan cuplikan kisah Queen secara superfisial.
Karena itu, mungkin sikap kita sejak awal hanya harus memperlakukan film ini sebagai serangkaian rekonstruksi videoklip kesuksesan Queen. Bukankah adegan Live Aid pada akhir cerita itulah yang menjadi porsi andalan dan yang paling banyak dibicarakan penonton? Tak perlu kita mendiskusikan arti lirik Bohemian Rhapsody atau pergolakan batin Freddy Mercury saat penciptaan lagu itu. Kelihatannya sineas film ini pun tak tertarik membahasnya.
BOHEMIAN RHAPSODY
Sutradara: Bryan Singer
Skenario: Anthony McCarten
Pemain: Rami Malek, Mike Myers, Gwilym Lee, Ben Hardy, Joseph Mazzello