Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Aletheia

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Kebenaran? Hari ini ia tak ada lagi, kata orang. Kita hidup dalam keadaan “pasca-kebenaran”. Apa yang “benar” tak penting-mungkin tak perlu ada.

Dan bukan cuma hari ini, jika kita percaya kepada yang dikatakan Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century. Menurut sejarawan ini, “pasca-kebenaran” tak hanya terjadi sekarang. Ia bagian yang melekat pada manusia. “Homo sapiens itu spesies pasca-kebenaran,” tulisnya. “Kekuatannya bergantung pada mencipta dan percaya fiksi.” Dengan itu terbentuk jaringan sosial manusia, lewat “kisah tentang mukjizat, malaikat, setan, hantu, dan juru tenung.”

Agama? Ya, menurut Harari. Baginya agama adalah “sebuah kabar palsu” yang dipercaya “ratusan juta manusia selama seribu tahun”. Agama, seperti politik, berkepentingan menyatukan dan mengendalikan manusia, dan untuk itu diperlukan mithos, dongeng, dan propaganda.

Dalam hal itu agama berhasil: bisa dibuatnya manusia bekerja sama dalam skala besar untuk membangun rumah sakit, sekolah, jembatan, tentara, penjara. “Adam dan Hawa tak pernah ada,” tulis Harari, “tapi Katedral Chartres tetap indah.” Sebagian besar isi Injil mungkin fiksi, tapi tetap membawa kegembiraan kepada jutaan manusia, seperti novel Don Quixote dan kisah Harry Potter.

Kata-kata ini tentu tak menyenangkan banyak orang yang beriman, tapi Harari sejarawan Israel yang tiap hari melihat jejak lama agama-agama yang mengagumkan tapi sekaligus juga bentrokan bengis yang berkelanjutan. Ia tak mengikuti agama-agama Ibrahimi. Ia menjalankan meditasi Vipassana, termasuk 60 hari dalam setahun membisu. Tapi saya tak menganggapnya religius: meditasi itu, sebagaimana agama, baginya punya tujuan pragmatis, bukan spiritual: ia tak menampiknya selama ia punya tujuan yang berguna. Meditasinya, kata Harari, adalah untuk melatihnya memfokuskan diri.

Pemaparan Harari terang-benderang-dan itulah soalnya: kita bisa silau dan tak melihat apa yang sebenarnya tak terang-benderang. Harari meletakkan agama dan mithos sebagai bagian “pasca-kebenaran”, tapi ia tak menjelaskan apa gerangan “kebenaran” sebelum itu. Dan ketika ia menyebut “kabar palsu”, ia membawa kita untuk mengasumsikan ada kabar yang tak palsu. Tapi juga ia tak menegaskan apa itu.

Saya punya kesan ia seorang positivis abad ke-18 yang dilahirkan kembali-dan terlambat. Ia tak bermaksud menafikan adanya kebenaran. Tapi, kata Harari, “Kita harus berusaha lebih keras untuk mendapatkannya.” Caranya: dengan “membedakan realitas dari fiksi”.

Tapi apa yang dianggapnya “realitas”? Tampaknya, seperti yang umumnya diakui pelbagai varian Positivisme, Harari mengunggulkan ilmu sebagai sumber yang paling bisa dipercaya dalam menangkap realitas dan dengan itu menemukan kebenaran. Ilmu dipercayai karena bisa diuji dengan pembuktian empiris. Artinya, pembuktian yang bertolak dari “realitas”, dan “realitas” adalah wujud yang bisa ditangkap pancaindra.

Saya duga Harari tak kenal kritik Werner Heisenberg, pelopor fisika kuantum: “Kaum positivis punya satu solusi sederhana: dunia harus dibagi ke dalam apa yang bisa kita utarakan dengan jelas dan yang selebihnya-yang lebih baik kita diamkan.” Ada kecenderungan Harari untuk itu, sejak bukunya yang pertama kali menarik jutaan pembaca, Sapiens.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Sapiens, misalnya, ia anggap bahasa manusia unggul karena mampu “menyampaikan hal-hal yang tidak ada”, things that do not exist. Maksudnya, “seluruh jenis entitas yang tak pernah mereka lihat, sentuh, atau hidu”. Dengan kata lain: apa saja yang tak dapat ditangkap pancaindra berarti “tak ada”, atau “fiksi”.

Ini kekeliruan elementer. Sebab dengan itu ia anggap “nol” adalah “fiksi”-padahal konsep tentang “nol” penting dalam matematika, dan matematika penting dalam fisika, dan fisika….

Kesalahan dasar Harari sesungguhnya tak perlu terjadi andai kata ia lebih mengenal dunia di mana “kebenaran” adalah proses yang berbeda dengan yang ia temukan dalam ilmu-ilmu: kebenaran dalam potret diri Affandi dan Frida Kahlo, dalam saat Romeo jatuh cinta kepada Juliet, dalam ekspresi Chairil Anwar yang selalu menyentuh, “Tuhanku, dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu....”

Kebenaran di situ berbeda dengan yang dirumuskan doktrin agama dan ilmu pengetahuan. Saya meminjam Alain Badiou untuk itu, yang membedakan “kebenaran” dengan “pengetahuan”.

“Pengetahuan” hanya sebuah repetisi, kata Badiou, atau modifikasi dari apa yang sudah diketahui. Ilmu berkembang dengan bertolak dari kesimpulan ilmiah sebelumnya. Kebenaran, kata Heidegger, tak demikian; ia muncul dalam “aletheia”, seperti saat kita terpesona pada novel Seratus Tahun Kesendirian Garcia Marquez: tak lazim, tapi di dalamnya kita tangkap sesuatu yang tak berbohong.

Kebenaran, dengan kata lain, punya proses dan kekuatan yang membuatnya terus-menerus melintasi ruang dan waktu. Hanya yang melihat hidup sebagai gerak mekanistis, seperti Harari, yang bisa mengatakan ada “pasca-kebenaran”.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

3 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

46 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

46 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

52 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.


Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

10 Januari 2024

Pemkab Banyuasin menerima penghargaan atas implementasi dalam kesejahteraan ASN melalui Taspen group terbanyak di wilayah kerja PT. Taspen (Persero) kantor cabang Palembang 2023.
Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Banyuasin mendapat jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.