Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebaiknya mengabaikan putusan Mahkamah Agung yang membolehkan pengurus partai politik menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Putusan tersebut bertabrakan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Pada Juli lalu, Mahkamah Konstitusi meluluskan uji materi atas Pasal 182 huruf I Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan melarang pengurus partai politik menjadi anggota DPD.
Pasal 182 huruf I mengatur tentang persyaratan calon anggota DPD. Pertimbangan para hakim konstitusi sudah terang-benderang, yakni menghindari perwakilan ganda dari partai. Sebab, kalau pengurus partai boleh mencalonkan diri menjadi anggota DPD, tujuan pembentukan lembaga tersebut tidak tercapai.
DPD merupakan lembaga perwakilan yang didirikan untuk mengakomodasi aspirasi daerah atau semacam kamar kedua di parlemen. Mereka berfungsi sebagai penyeimbang terhadap suara partai di legislatif. Faktanya saat ini, jumlah pengurus partai yang menjadi anggota DPD malah lebih banyak dari perwakilan murni daerah. Hal ini jelas merisaukan. Para politikus tersebut akan lebih patuh terhadap keputusan partai. Padahal anggota DPD seharusnya hanya setia kepada suara masyarakat di daerahnya.
Kekacauan hukum ini bermula dari keinginan Ketua DPD Oesman Sapta Odang kembali mengajukan diri sebagai anggota DPD, tapi tak mau melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Hanura. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Pemilu pasca-uji materi menghalangi niat tersebut.
Sebenarnya KPU telah cukup bijak. Dengan pertimbangan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi keluar setelah proses pendaftaran calon DPD berjalan, KPU membolehkan pengurus partai yang telanjur mendaftar untuk mempertahankan status pencalonannya, asalkan mereka mundur dari kepengurusan partai. Namun Oesman menolak. Selain menggugat ke Mahkamah Agung, dia bersama pengacaranya mengancam akan meneruskan sengketa ke Pengadilan Tata Usaha Negara jika KPU tak menjalankan putusan Mahkamah Agung.
Komisioner KPU tidak perlu khawatir akan ancaman Oesman dan pengacaranya. Bagaimanapun, putusan Mahkamah Konstitusi derajatnya lebih tinggi karena merujuk pada undang-undang. Jika diperlukan, KPU bisa menyiapkan peraturan baru soal pencalonan anggota DPD menggantikan PKPU yang telah dianulir Mahkamah Agung.
Di sisi lain, putusan Mahkamah Agung yang seolah melawan putusan Mahkamah Konstitusi ini merupakan preseden buruk bagi penyelenggaraan hukum. Sebuah aturan perundang-undangan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi kini dapat dilawan dengan uji materi atas peraturan turunannya di Mahkamah Agung. Kalau hal ini dibiarkan, kekacauan hukum semacam itu akan terus berulang.
Mahkamah Agung seharusnya tidak mempermainkan hukum. Keputusan janggal seperti yang terjadi dalam sengketa PKPU yang melibatkan Oesman ini, selain merusak tatanan hukum, bisa menggerus kepercayaan publik. *