Sungguh ironis, saat pemerintah berjibaku menggenjot pembangunan infrastruktur, skor kemudahan berinvestasi di Indonesia justru melorot. Sederet program yang dicanangkan pemerintah untuk menarik investor ternyata masih sebatas kata-kata manis.
Laporan Bank Dunia menunjukkan hal tersebut. Dalam dokumen bertajuk "Doing Business 2019", lembaga tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat ke-73 dari 90 negara. Skor itu merosot satu peringkat dibanding tahun lalu.
Peringkat Indonesia itu pun berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam (posisi ke-69) dan Brunei (ke-55). Di kawasan ASEAN, Singapura menduduki peringkat terbaik, yakni peringkat kedua. Adapun Malaysia dan Thailand masing-masing berada di peringkat ke-15 dan ke-27.
Temuan ini seharusnya menjadi pelecut bagi pemerintah. Deregulasi atau reformasi aturan untuk menarik investor-yang selama ini didengung-dengungkan pemerintah-ternyata masih sebatas otak-atik tanpa menyentuh substansi. Penyederhanaan izin dan penurunan tarif tak cukup memikat investor. Sebab, masih ada kendala besar lain yang menghadang mereka, yakni ketidaksinkronan aturan yang dibuat oleh beberapa lembaga pemerintah.
Hal yang menjadi faktor utama sehingga skor kemudahan berinvestasi di Indonesia melorot adalah penurunan peringkat pada beberapa indikator kemudahan berbisnis. Dari 10 indikator, ada tiga hal yang menurun drastis peringkatnya dari tahun lalu, yakni perizinan konstruksi (dari ke-108 menjadi 112), perlindungan investor minoritas (dari ke-43 menjadi 51), dan penegakan kontrak (dari ke-145 menjadi 146).
Pernyataan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong cukup mengagetkan, tapi begitulah faktanya. Dia mengatakan pemerintah kehilangan fokus dan alpa memperbaiki hal-hal fundamental dalam birokrasi. Berbagai aturan yang bertabrakan dan morat-marit harus segera dibereskan.
Presiden Joko Widodo seharusnya tidak hanya memfokuskan diri pada pembangunan proyek infrastruktur. Proyek itu memang penting, tapi perbaikan keseluruhan sistem sehingga pola kerja birokrat pemberi izin tak lambat juga penting. Iming-iming infrastruktur atau insentif sebesar apa pun tak akan menarik bagi investor jika mereka tak kunjung mendapatkan pelayanan yang baik, cepat, dan adil.
Janji pemerintah menerapkan sistem perizinan online juga harus segera ditepati. Keterlambatan pengoperasian sistem Online Single Submission yang diluncurkan sejak Juli lalu menjadi tambahan catatan buruk di mata investor.
Dunia bisnis bergerak begitu cepat. Bila pemerintah lamban, wajar bila investor melirik wilayah lain, seperti Vietnam atau Thailand.
Banyak pesaing untuk berebut kue investasi. Pemerintah tak boleh lagi kehilangan fokus. Harus ada strategi induk pembenahan sistem investasi agar tak terkesan pembenahan di satu bidang terlepas dari bidang lainnya. Presiden Jokowi tak boleh berpuas diri karena pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas 5 persen.