Sudah sebulan lebih kampanye pemilihan presiden berlangsung, tapi publik belum bisa menangkap isu yang substansial. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lebih sering ribut soal urusan remeh-temeh. Belum ada polemik yang bermutu mengenai cara mengelola negara dan memakmurkan rakyat.
Kedua pasangan calon lebih banyak blusukan dan berkeliling daerah. Mereka hanya tebar pesona, tanpa menawarkan program. Strategi ini mungkin saja efektif untuk mendongkrak elektabilitas. Sebab, masyarakat kita memang menyukai sentuhan personal. Mereka sudah senang bisa bertemu, bersalaman, dan berswafoto dengan pemimpinnya.
Masalahnya, kampanye pemilihan presiden terasa kurang gereget. Proses demokrasi ini pun menjadi kurang bermutu. Publik tidak pernah mendapat gambaran jelas, misalnya, apa konsekuensi memilih Jokowi-Ma’ruf ataupun Prabowo-Sandiaga. Apa beda keduanya dalam mengurus negara? Kedua kubu seharusnya mulai menjelaskan perbedaan visi dan misi mereka secara gamblang. Kalaupun ideologinya sama-sama nasionalis-populis, program konkretnya boleh jadi berbeda.
Dalam soal ekonom, misalnya, pasangan Jokowi-Ma’ruf berkeinginan membangun "struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing". Publik harus diberi penjelasan bagaimana hal ini bisa diwujudkan. Selama empat tahun pemerintahan Jokowi, apa yang sudah dicapai dan apa lagi program yang akan dilaksanakan jika terpilih kembali.
Begitu pula pasangan Prabowo-Sandiaga. Mereka perlu menjelaskan soal visi "membangun perekonomian nasional yang adil, makmur, berkualitas, dan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia melalui jalan politik-ekonomi sesuai dengan Pasal 33 dan 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945". Apa beda visi yang panjang ini dengan yang telah dilakukan pemerintah sekarang?
Visi-misi pasangan akan lebih mudah dipahami pula jika dikaitkan dengan persoalan nyata negara ini. Banyak masalah yang kini kita hadapi, dari korupsi yang merajalela, rupiah yang melemah, ekonomi yang masih lesu, kemiskinan, hingga soal keselamatan penerbangan. Kedua kubu semestinya berdebat keras mengenai semua masalah itu, sehingga publik bisa mengambil kesimpulan kubu mana yang memiliki solusi lebih baik.
Sejauh ini bukan perdebatan yang muncul, melainkan saling mengkritik dan menjelek-jelekkan. Urusan harga nasi goreng dan tempe diributkan, tapi tidak muncul polemik bagaimana membangun perekonomian yang membuat tempe murah atau pendapatan per kapita kita naik sehingga harga barang menjadi terjangkau.
Dalam berkampanye, kedua pasangan calon seharusnya tidak sekadar berupaya mendongkrak elektabilitas dengan segala cara. Mereka harus berkomitmen pula meningkatkan mutu pemilu lewat adu program dan menghindari kampanye yang membodohi masyarakat.