LANGKAH cepat Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya memulai penyidikan untuk perkara dugaan perintangan penegakan hukum dengan terlapor dua bekas penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy dan Komisaris Harun, patut dicurigai. Selain mengandung konflik kepentingan, penyidikan itu berpotensi mengganggu upaya Komisi Pemberantasan Korupsi menuntaskan perkara suap perusahaan importir daging sapi.
Kecurigaan publik makin menguat karena salah satu langkah pertama Polda Metro Jaya dalam penyidikan perkara ini adalah menyita dua buku catatan pengeluaran perusahaan milik pengusaha Basuki Hariman, dua hari lalu. Kedua buku itulah yang diduga dirusak oleh Roland dan Harun untuk menutupi jejak suap impor daging sapi dari Basuki ke sejumlah petinggi kepolisian, termasuk yang diduga dicatatkan atas nama Jenderal Tito Karnavian ketika menjabat Kepala Polda Metro Jaya. Kedua buku itu adalah barang bukti penting di KPK.
Sulit berharap penyidik Polda Metro Jaya bisa bekerja dengan obyektif dan profesional dalam perkara ini. Selain yang diperiksa adalah koleganya sendiri sesama polisi, latar belakang perkara ini, yakni perusakan barang bukti di KPK, tak lepas dari sosok pucuk pimpinan tertinggi Korps Bhayangkara: Kepala Kepolisian RI.
Karena itu, sejak awal, seharusnya jajaran pimpinan kepolisian legawa dan menyerahkan penyidikan perkara ini kepada KPK. Semua kasus perintangan penegakan hukum lain yang berkaitan dengan perkara korupsi di Kuningan, dari yang melibatkan pengacara Fredrich Yunadi hingga Lucas, ditangani sendiri oleh penyidik KPK. Tak ada alasan untuk memberi perlakuan khusus dalam penanganan kasus Roland dan Harun ini.
Sangat janggal kalau pimpinan komisi antikorupsi pasrah saja menghadapi langkah agresif Polda Metro Jaya. Tidak tepat bila mereka mengizinkan penyidiknya diperiksa polisi dan membiarkan dua barang bukti penting disita begitu saja. Sikap semacam itu memberi kesan lemahnya komitmen pimpinan KPK menjaga integritas dan kredibilitas lembaganya sendiri. Ini tentu langkah mundur yang patut disesalkan.
Sebelum semua terlambat, pimpinan KPK harus menegaskan posisi lembaganya sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pimpinan KPK harus ingat bahwa lembaganya dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tugas kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Pasal 8 Undang-Undang KPK bahkan memberi kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan polisi yang dinilai menyimpang.
Kasus suap impor daging sapi yang kini jadi sorotan publik memang masih jauh dari terang. Kabar bahwa Tito Karnavian menerima suap sebagaimana yang tercatat dalam buku Basuki Hariman juga masih amat remang-remang. Alat bukti lain yang kuat secara hukum masih perlu dicari. Namun fakta bahwa ada dugaan keterlibatan petinggi Polri saja sebenarnya sudah cukup untuk menegaskan bahwa perkara ini merupakan kewenangan KPK sepenuhnya, bukan polisi.