Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat pekan lalu kian memperlihatkan betapa lazimnya kolusi antara pengusaha dan pejabat. Delapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah dan lima petinggi PT Binasawit Abadi Pratama (BAP) serta induk usahanya, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology, diringkus KPK di empat tempat berbeda di Jakarta. Disita pula Rp 240 juta yang diduga sebagai duit suap untuk menutupi perizinan yang bermasalah.
Dua pekan sebelumnya, KPK menangkap Billy Sindoro, Direktur Operasional Lippo Group, bersama tiga anak buahnya. Para pengusaha itu dituding menyuap Bupati Bekasi Neneng Hasanah dan empat pejabat di kabupaten tersebut. Rasuah sebesar Rp 7 miliar-dari komitmen Rp 13 miliar-diduga diberikan sebagai imbalan atas pengurusan sejumlah izin Meikarta, proyek hunian mewah di Cikarang.
Dalam kasus suap anggota DPRD Kalimantan Tengah, menurut Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, PT BAP mempengaruhi sejumlah anggota Komisi B agar meniadakan rapat dengar pendapat yang membahas laporan masyarakat soal pembuangan limbah pengolahan sawit perusahaan itu di Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan. Perusahaan juga meminta DPRD menyatakan bahwa PT BAP telah mengantongi hak guna usaha (HGU). Selain HGU, izin yang diduga bermasalah adalah izin pinjam pakai kawasan hutan dan jaminan pencadangan wilayah.
Sementara itu, menurut kajian Bambang Widjojanto, 90 persen kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan korporasi, baik sebagai pelaku, orang yang bersama-sama melakukan, maupun pihak yang membantu memberi sarana dan prasarana kejahatan. Sayangnya, data Anti-Corruption Clearing House KPK menyebutkan, dari 867 tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan/profesi (2004-2018), baru empat korporasi saja yang ditangani oleh KPK.
Semestinya KPK tidak ragu menerapkan delik kejahatan korporasi. Apalagi panduan yang diberikan Mahkamah Agung melalui Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi sudah sangat jelas. Pasal 4 (2.a) peraturan itu memberikan persyaratan dalam menjatuhkan pidana bagi korporasi, yakni bila korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat atau tindak pidana itu dilakukan untuk kepentingan korporasi.
KPK pun sebenarnya sudah mempunyai preseden dalam menjerat korporasi sebagai subyek hukum, yakni dalam kasus PT Duta Graha Indah (berganti menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring) yang persidangannya kini sedang berlangsung. Perusahaan itu menjadi terdakwa dalam perkara dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana tahun 2009-2010.
Penting untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi karena kejahatan korporasi berkesinambungan dalam waktu yang tak terbatas, melibatkan kemampuan profesional, serta berdampak luas bagi perekonomian negara. Jangan ragu menjerat mereka.