Tak bosan rupanya mengaduk-aduk kembali mimpi punya mobil nasional. Setelah pernah gagal total dengan proyek mobnas pada 1996, kini keinginan yang sama dicuatkan. Lima tahun lalu, calon presiden Prabowo Subianto ingin menghidupkan kembali mobil nasional yang didesain Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi: Maleo. Sekarang giliran calon wakil presiden Ma’ruf Amin meniupkan kabar serupa. Semuanya menjelang pemilu presiden.
Ma’ruf mengumumkan bahwa mobil nasional bernama Esemka, yang dulu pernah dirintis oleh Jokowi, akan diproduksi besar-besaran pada akhir Oktober ini. Esemka pertama kali dikembangkan satu dekade lalu oleh para siswa sekolah menengah kejuruan di Kabupaten Klaten dan Kota Surakarta, Jawa Tengah. Produksi awal mobil ini sempat digunakan Jokowi sebagai kendaraan dinas saat masih menjabat Wali Kota Solo.
Tak ada yang salah dengan gagasan memiliki mobil nasional. Sejumlah negara punya mobnas. Tetangga dekat kita, Malaysia, sudah meluncurkan Proton. Negara-negara itu merumuskan lebih dulu kebijakan industri otomotif mereka dalam jangka panjang, membuat peta jalan menuju ke sana, mengembangkan industri komponen-termasuk pabrik baja-secara sistematis, memberi insentif pajak yang menarik, hingga menyiapkan infrastruktur penunjang.
Di sini, kebijakan mobnas terkesan merupakan aksi potong kompas. Proyek mobil Timor, yang digadang-gadang sebagai mobnas oleh pemerintah Orde Baru, tak lebih dari "nasionalisme merek". Caranya, mengimpor 100 persen mobil produksi KIA, lalu mengganti mereknya dengan merek nasional.
Kebijakan ini berbeda dengan program mobnas Korea Selatan pada 1974, yang mencanangkan kewajiban kandungan lokal mencapai 60 persen sejak awal. Juga berbeda dengan strategi India dan Malaysia yang bermitra dengan perusahaan asing. Maruti Udyog dari India berpartner dengan Suzuki, sedangkan Proton dari Malaysia mengimpor blok mesin dari Mitsubishi.
Kedua negara itu menetapkan skema bertahap yang mengurangi "pengaruh" pabrikan asing secara progresif dan menggantinya dengan hampir 100 persen komponen lokal dalam waktu yang ditetapkan. Kita tak tahu bagaimana skema peningkatan kandungan komponen lokal Esemka yang diproduksi di Boyolali, Jawa Tengah. Yang jelas, Esemka bakal menggunakan komponen yang didatangkan dari Cina secara terurai atau completely knocked-down (CKD). Pabrik Esemka tak lebih hanya menjadi tempat perakitan mobil.
Tanpa harus gembar-gembor sebagai proyek mobnas, sebenarnya PT Astra International Tbk sudah meningkatkan kandungan lokal produk mobil mereka hampir 90 persen. Mobil Grand Max, yang sudah menembus pasar Jepang, misalnya, memiliki kandungan lokal 87 persen. Rancang bangun hingga produk akhir mobil ini dibuat sendiri oleh putra Indonesia. Tanpa harus menyebut diri mobnas, mereka sudah membuktikan diri laku di pasar.
Pasarlah yang pada akhirnya akan menguji kualitas produk sebuah mobil. Maruti dan Proton sudah mengalaminya-sekalipun bangga punya mobil nasional, produk itu tak cukup laku di pasar internasional.