Putu Setia
Masalah kelurahan tak cuma soal dana. Ada urusan partisipasi warga yang tak ditampung. Itu yang membuat puluhan kelurahan di Bali ramai-ramai mau kembali ke status desa. Mereka merasa tertipu pada era Orde Baru ketika sejumlah desa yang menyangga Kota Denpasar diubah statusnya dari desa menjadi kelurahan. Alasan saat itu, sistem kelurahan diperlukan untuk mendukung Denpasar menjadi kota administratif.
Kini Denpasar bahkan menjadi kota yang setara dengan kabupaten, layaknya daerah tingkat dua. Tapi beberapa desa yang tak masuk wilayah Kota Denpasar dan berada di Kabupaten Badung telanjur jadi kelurahan. Warga di sana mulai mempertanyakan kenapa mereka dibedakan dengan desa tetangganya.
Bali punya dua desa. Yang satu mengacu pada sistem adat dan tak berurusan dengan pemerintahan formal. Satu lagi desa sebagai satuan terkecil pemerintahan, supaya tidak membingungkan desa ini disebut "desa dinas". Desa adat pembentukannya berdasarkan agama, "desa dinas" berdasarkan luas kawasan, warganya siapa pun yang bermukim di sana, tak peduli agamanya. Persamaannya, kepala desa dipilih langsung oleh warga dan asetnya milik warga desa.
Orde Baru membawa sistem kelurahan ke Bali. Pemimpinnya yang disebut lurah diangkat pemerintah. Aset dan kekayaan, termasuk dana pembangunan desa, diatur dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Warga, selain tidak dilibatkan membangun desanya, bisa tak tahu siapa lurahnya, karena orangnya bisa didrop dari desa lain, sesuatu yang tak mungkin dalam sistem desa. Ini yang dianggap tidak cocok di pedesaan Bali yang sistem kekerabatannya begitu kuat.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan boleh ada perubahan dari sistem desa ke sistem kelurahan maupun sebaliknya dari sistem kelurahan menjadi sistem desa. Pasal 11 UU Nomor 6 ayat 1 menyebutkan: "Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa." Ayat 2 menyebutkan: "Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota."
Pada Pasal 12 UU Nomor 6 terjadi sebaliknya, perubahan dari kelurahan menjadi desa. Pasal 12 ayat 1 berbunyi: "Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Ayat 2 menyebutkan: "Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa."
Yang rumit bukannya mendata aset kekayaan yang akan beralih itu. Karena dulunya sudah sistem desa, urusan jadi lebih gampang. Yang rumit, terbentur Pasal 14 UU Nomor 6 yang intinya menyebut semua perubahan status itu harus ditetapkan dalam peraturan daerah. Peraturan itu pun tidak rumit dan sudah selesai. Masalahnya, peraturan daerah harus disahkan Menteri Dalam Negeri. Di sini macetnya.
Jadi persoalan kelurahan di beberapa daerah, khususnya di Bali, bukan sekadar tak ada "dana kelurahan", tapi sistemnya tak cocok dengan budaya setempat. Ini yang jarang dibahas oleh para elite di pusat.