Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE
Menuju tahun keempat masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pilar regulasi perlindungan buruh migran Indonesia sudah memberikan fondasi yang kuat untuk memastikan kehadiran negara. Pilar itu adalah pembentukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Di tingkat ASEAN, selain telah meratifikasi Konvensi ASEAN untuk Melawan Perdagangan Manusia (terutama perempuan dan anak), pemerintah menjadi promotor aktif pembentukan ASEAN Consensus on Protection and Promotion The Rights of Migrant Workers yang akhirnya disepakati semua negara anggota ASEAN dan ditandatangani pada akhir November 2017.
Namun regulasi ini belum seketika mengubah watak dan paradigma tata kelola buruh migran. Paradigma ini didominasi oleh sektor swasta yang mengambil keuntungan besar dari perekrutan dan pengiriman buruh migran. Negara hanya menjadi tukang stempel tanda terima proses perekrutan dan pemberangkatan mereka.
Pada masa Jokowi, kehadiran negara baru ditandai dengan pembentukan layanan langsung, misalnya Portal Perlindungan Warga Negara Indonesia dan SMSblast serta penghapusan Terminal Khusus TKI di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Namun penyelenggaraan tata kelola migrasi tenaga kerja yang berbasis perlindungan hak asasi dan beroperasi sebagai pelayanan publik negara masih membutuhkan waktu yang lama dan kemauan politik yang serius.
Pemerintahan Jokowi juga pernah keliru mewacanakan penghapusan buruh migran Indonesia di sektor pekerja rumah tangga atas nama martabat dan harga diri bangsa. Sesat pikir ini, selain terkonstruksi cara pandang patriarkis yang meremehkan pekerjaan di sektor domestik, dianggap menghalangi hak perempuan untuk bekerja dan bermigrasi. Penghentian permanen penempatan buruh migran di sektor pekerja rumah tangga ke Timur Tengah sejak 2015 malah memunculkan fenomena penempatan non-prosedur yang rentan akan praktik perdagangan manusia.
Dalam laporan kinerja empat tahun pemerintahan Jokowi, salah satu ukuran keberhasilannya adalah pembebasan 443 buruh migran dari ancaman hukuman mati. Keberhasilan ini tentu patut diapresiasi, tapi Indonesia menghadapi dilema dalam diplomasi pembebasan buruh migran dari hukuman mati karena pemerintahan Jokowi sendiri masih menerapkan hukuman mati dalam hukum pidananya. Seharusnya Indonesia memiliki peta jalan penghapusan hukuman mati.
Hal positif yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi adalah munculnya inisiatif perlindungan buruh migran di tingkat lokal, dari kabupaten/kota hingga desa. Namun, hingga saat ini, inisiatif itu belum mendapat respons yang signifikan dari pemerintah pusat. Rencana Kementerian Ketenagakerjaan membuka penempatan TKI ke Timur Tengah melalui Mekanisme Satu Kanal memperlihatkan masih kuatnya kecenderungan monopoli penempatan melalui perusahaan pengerah swasta yang terbukti ugal-ugalan dalam menjalankan usahanya.
Inisiatif Migrant Care yang mendorong adanya Desa Peduli Buruh Migran dan direplikasi Kementerian melalui Desa Migran Produktif merupakan hal yang menggembirakan. Tapi langkah replikasi ini patut dipertanyakan kesinambungannya karena sifatnya masih pilot project dan belum masuk nomenklatur penganggaran rutin di APBN.
Yang terakhir, pemerintahan Presiden Jokowi terlihat tidak terlalu aktif dalam mensinergikan agenda perlindungan buruh migran Indonesia dalam forum-forum multilateral. Pada September 2017, Indonesia memang memberikan laporan perdana sebagai negara pihak Konvensi Perlindungan Buruh Migran, tapi Indonesia tidak masuk inisiatif-inisiatif berikutnya, seperti A Call to Action to End Forced Labour, Modern Slavery, and Human Trafficking yang diajukan oleh Inggris dan didukung 61 negara. Terakhir, di dalam Annual Meeting IMF-World Bank di Bali yang lalu, agenda yang terkait dengan tata kelola remitansi yang menjadi perhatian lembaga keuangan internasional ini juga tidak dibicarakan secara signifikan.