Mandarin, Indonesia, Inggris, Prancis… inilah bahasa pengantar yang digunakan secara bergantian dalam film terbaru Timo Tjahjanto.
Berbagai bahasa, berbagai rupa, berbagai lokasi. Itu semua tak penting betul karena toh setting film ini tak jelas, meski film ini menyebut-nyebut daerah Kota di Jakarta dan yang lebih penting lagi menyebut organisasi Triad, sebuah nama yang dalam sekejap akan membuat seorang warga biasa gemetar hingga mati berdiri. Kalau pun memang ini adalah kisah Jakarta yang direkrut Triad, ini Jakarta yang tak dikenal oleh warga biasa seperti saya.
Tampaknya tokoh-tokoh di dalam dunia rekaan Timo Tjahjanto adalah bagian dari dunia hitam yang hanya ada dalam bayang-bayang karena mereka bergerak dalam gelap dan dibuhulkan menjadi ‘nyata’ dalam fantasi para sineas Hong Kong.
Syahdan, Timo bukan sineas Hong Kong. Dia sineas Indonesia yang bersahabat dengan Gareth Evans dan (saya rasa) punya kekaguman terhadapnya sehingga sulit bagi banyak kritikus film, asing maupun Indonesia atau penonton awam seperti saya, untuk tak membandingkan karya-karyanya dengan The Raid dan The Raid 2. Bukan hanya karena mereka tampak saling bertukar silang pemain (Iko Uwais, Joe Taslim, Julie Estelle dan kali ini minus Yayan Ruhiyan), tetapi karena adegan-adegan maupun karakter kedua sutradara seperti saling silang hingga terkadang kita agak pangling apakah ini karya Gareth Evans atau Timo. Tetapi tentu saja, tentu saja ada perbedaan mengingat Timo adalah bagian dari Mo Brothers yang pernah memproduksi dan menyutradarai film Macabre (2009), Killers (2014) dan Headshot (2017) yang gory dan penuh darah berember-ember.
Inilah satu hal yang merupakan sidik jari Timo, yang membedakannya dari Gareth Evans: darah, usus, dan potongan tubuh yang tercecer-cecer.
Kali ini, protagonis Timo adalah Ito (Joe Taslim), salah satu anggota dari tim elite Triad bernama Six Seas, yang seharusnya menghabiskan seisi kampung. Demi melihat seorang anak perempuan yang terkulai tak berdaya setelah kedua orangtuanya dihabisi peluru, Ito seketika luluh. Moncong senapan dialihkan ke tim pembunuh kelompoknya sendiri. Dan itulah awal mula Ito menjadi target perburuan Triad untuk dihabiskan.
Di dalam perburuan itulah, yang diwakilkan ke beberapa “sub- kontraktor”, terjadi pertarungan, perkelahian, pematahan tulang, penggorokan hingga keluar usus, patah tulang belulang atau darah muncrat itu. Perburuan ini, yang terjadi seharian semalaman, memberi peluang pada adegan-adegan keji yang sebegitu berdarah hingga seperti disengaja untuk hiperbolik seperti permainan videogame.
Ito menenteng Reina yang telah membuat hatinya rontok. Dan sampai akhir film kita tak paham mengapa, atau mungkin adakah teka teki dalam anak gadis itu yang menyebabkan dia begitu membelanya. Keputusan Ito kemudian membuat satu-persatu sahabat-sahabatnya –tentu saja sesama gangster – hancur lebur di tangan para jagoan Triad. Di antara sahabat itu, ada nama Arian (Iko Uwas). Arian selalu tampil perlente dengan jas lengkap dan rambut rapi itu sengaja digambarkan sebagai sosok yang memiliki kaki di dua tempat. Ini musuh Ito yang paling berbahaya.
Belum lagi ada tiga cewek yang luar biasa kompeten dalam menghabiskan orang: Elena (Hannah Al Rashid) yang selalu berduaan dengan Alma (Dian Sastrowardoyo). Hannah Al Rashid dengan penampilan yang terbalik dari sosok yang diperankannya dalam Aruna dan Lidahnya (Edwin, 2018), kini seorang perempuan berambut platinum dan cuma girang dengan parang dan darah. Geraknya tenang dan bikin semua begundal kencing di celana. Dian Sastrowardoyo mencoba keluar dari zona nyaman genre drama, kini muncul dengan rambut pendek sebagai Alma, pacar Elena yang suka geli sendiri melihat lawan (lelaki) yang dungu. Mereka semua punya kemahiran masing-masing dengan senjata tajam, dan tampaknya polyglot yang bisa mondar-mandir dari bahasa Mandarin, ke bahasa Inggris atau Prancis dengan santai. Datang pula tokoh Operator (Julie Estelle) yang keren setengah mati dan menghajar duo Alma-Elena (bagian ini, Anda harus menyaksikan sendiri, karena pertarungan tiga cewek ini memang seru). Akhir pertarungan dua versus satu ini sungguh tidak menyenangkan mata, karena Timo gemar memvisualisasikan potongan organ yang berarakan kemana-mana.
Sekali lagi, sulit untuk tidak membandingkan film ini denga film The Raid dan The Raid 2 karena rangkaian perkelahian yang panjang di lorong-lorong, di mobil, kejar-mengejar mobil dan bahkan sosok bos (Sunny Pang) yang kumel sembari makan mie ayam itu tetap memiliki pengaruh besar dari karya-karya Gareth Evans (ingat Ray Sahetapy, bos kumel yang mengerikan dan suka makan mi instan dalam The Raid?). Apa boleh buat memang Evans yang telah membuka karpet merah laga dan pencak silat bagi sineas Indonesia lainnya ke luar Indonesia. Dan para pecinta film laga Evans (termasuk saya) yang merindukan karya laganya tentu saja memahami jika ada sineas lain yang terpengaruh berat oleh dia. Perbedaannya, ya itu tadi, Evans masih mementingkan plot yang ketat dan sinematografi yang keren daripada memperlihatkan organ tubuh yang terburai-burai. Fokus Evans bukan adegan “gory” tapi seni pertarungan silat dan bagaimana silat bisa diramu dalam drama.
Timo lebih tertarik dengan perkelahian, satu bak darah, penggalan kepala atau jari-jari yang tercecer. Lalu itu semua kemudian dia racik dalam drama yang plotnya tak terlalu jelas dengan dialog yang terkadang agak kaku dan ajaib (“aku di sini,” kata salah satu tokohnya menghibur, yang merupakan terjemahan harafiah dari “I am here…” atau ketika tokoh Operator mengatakan “Pertanyaannya, apakah kamu masih mereka sekarang”, yang artinya apaan sih? Pasti maksudnya “are you one of them”). Plot karya Timo, baik Headshot maupun The Night Comes for Us masih lemah, banyak ketidakjelasan cerita bukan karena ingin memberi peluang interpretasi, melainkan karena kelemahan skenario. Mengapa Ito mendadak lemah hati pada Reina hingga sepanjang film dia terus menerus membelanya mati-matian? Kalaupun ini sebuah gerakan hati dan pertobatan pribadi Ito, saya perlu diyakinkan perjalanan batin (dan fisik) Ito hingga dalam detik yang menentukan dia akhirnya membalikkan badan dan membunuh timnya sendiri.
Penyuntingan antara adegan satu dengan lainnya juga tidak dilakukan dengan ketat hingga seolah pesta bunuh membunuh ini terjadi dengan mudah meriah dan lebih absurd lagi: tak ada sedikit pun reaksi dari perangkat hukum. Katakanlah kita harus mengambil sikap suspense of disbelief –sebuah momen di mana kita harus bersedia menunda kritik atas tidak logisnya sebuah adegan atau plot demi keasyikan tontonan—tentu akan ada batas sejauh apa kita mau menunda kritik atau rasa tidak puas itu.
Tetapi setelah menyaksikan film yang ditayangkan Netflix ini, ada dua hal yang ingin saya usulkan: Menampilkan Joe Taslim sebagai peran utama dan Iko Uwais sebagai tokoh antagonis sudah tepat karena ada upaya pembongkaran stereotip dan Joe sudah membuktikan dirinya dia bukan hanya aktor laga tetapi juga aktor drama yang bagus. Usul saya, sudah waktunya Julie Estelle diberikan porsi tersendiri di dunia film laga, karena dia sudah membuktikan dirinya dalam film The Raid 2, Headshot, dan kini The Nights Comes for Us. Julie sudah menemukan garisnya. Usul kedua, Timo sudah harus percaya diri bahwa dia juga memiliki sidik jari dan ciri khasnya sendiri. Sudah waktunya Timo membuat film yang tak dikejar bayang-bayang sineas yang dikaguminya.
THE NIGHT COMES FOR US
Sutradara: Timo Tjahjanto
Skenario: Timo Tjahjanto
Pemain: Joe Taslim, Iko Uwais, Abimana Aryasatya, Julie Estelle, Sunny Pang, Hannah Al Rashid, Dian Sastrowardoyo