Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Janji Manis Soal Hak Asasi

Oleh

image-gnews
Sejumlah aktivis mengikuti Aksi Kamisan ke-558 di depan Istana Negara, Jakarta, 18 Oktober 2018. Pada aksi ke-558 tersebut, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta para aktivis mensuarakan kepemimpinan empat tahun Jokowi-JK, yang belum berhasil menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis
Sejumlah aktivis mengikuti Aksi Kamisan ke-558 di depan Istana Negara, Jakarta, 18 Oktober 2018. Pada aksi ke-558 tersebut, korban dan keluarga korban pelanggaran HAM serta para aktivis mensuarakan kepemimpinan empat tahun Jokowi-JK, yang belum berhasil menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis
Iklan

Sudah empat tahun usia pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla, tapi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dijanjikan dalam program Nawacita tidak tersentuh sama sekali. Tak ada ikhtiar serius, apalagi "total football" sebagaimana yang Jokowi lakukan untuk urusan lain seperti mempercepat pembangunan infrastruktur.

Dalam dokumen Nawacita yang diteken di awal pemerintahan, Jokowi-Kalla memprioritaskan sembilan agenda. Salah satunya reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Prioritasnya adalah menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu.

Tekad itu kemudian dituangkan dalam rencana kerja jangka panjang nasional. Pemerintah bahkan menyampaikannya di depan korban tragedi 1965 di Simposium Nasional Tragedi 1965 dua tahun lalu. Dalam pidato kenegaraan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Agustus lalu, Presiden pun menegaskan, "Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia pada masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tak terulang."

Retorika singkat satu paragraf itu-berbeda dengan pembangunan ekonomi yang ditulis beberapa halaman-tak kunjung diwujudkan. Kasus pelanggaran hak asasi malah makin bertambah, seperti yang terjadi di Papua. Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 69 kasus pembunuhan ekstrayudisial selama delapan tahun terakhir yang tidak diusut di provinsi itu.

Tak cuma di Papua, pelanggaran hak asasi juga kian marak di banyak wilayah lain. Di antaranya kasus penutupan sejumlah tempat ibadah umat Kristiani dan Ahmadiyah, pembubaran kegiatan yang berkaitan dengan peristiwa 1965, dan penyerangan terhadap Novel Baswedan.

Dalam soal pelanggaran HAM masa lalu, Presiden memang sudah menemui keluarga korban penembakan Trisakti serta Semanggi I dan II yang tergabung dalam Aksi Kamisan. Ia berjanji menuntaskan kasus itu sesuai dengan visi Nawacita. Tapi, ironisnya, pemerintah kemudian ingin menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi dengan cara musyawarah lewat Dewan Kerukunan Nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pembentukan Dewan Kerukunan jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia lewat meja hijau. Undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki pelanggaran kasus HAM.

Komnas HAM sebetulnya sudah merampungkan penyelidikan sejumlah tragedi masa lalu. Di antaranya penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, tragedi penembakan mahasiswa Trisakti 1998, dan tragedi Semanggi. Tapi nasib berkas penyelidikan yang sudah diserahkan ke kejaksaan itu seperti bola pingpong-dikembalikan lagi oleh kejaksaan.

Presiden Jokowi sebenarnya bisa dengan mudah memerintahkan Jaksa Agung mengusut kasus hak asasi masa lalu yang sudah diselidiki Komnas HAM. Ia juga bisa segera membentuk pengadilan HAM ad hoc dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Rekonsiliasi boleh saja ditempuh, tapi harus didahului dengan proses hukum. Tanpa diketahui siapa dalang dan pelaku yang bersalah melalui pengadilan, rekonsiliasi hanya akan melanggengkan impunitas. Jika itu yang terjadi, penyelesaian kasus hak asasi manusia akan makin jauh dari yang dijanjikan dalam Nawacita.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.