Penyerangan terhadap tradisi sedekah laut di Pantai Baru, Srandakan, Bantul, Yogyakarta, kian menegaskan bahwa intoleransi dalam bentuk kekerasan semakin mewujud di negeri ini. Bila terus-menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin kekerasan serupa, dengan mengatasnamakan agama, akan menimpa tradisi yang telah berlangsung turun-temurun.
Tradisi sedekah laut merupakan ungkapan syukur nelayan yang digelar setiap awal panen ikan atau musim keempat dalam hitungan kalender Jawa. Mereka menggelar serangkaian kegiatan, di antaranya mengarak ikan bakar yang dihias dalam bentuk gunungan serta mementaskan kesenian reog dan tari gambyong. Sayangnya, acara yang berlangsung setiap tahun itu urung dilaksanakan setelah sekelompok orang merusak perlengkapan mereka pada Jumat malam lalu.
Para pelaku bercadar memasang spanduk. Isinya menolak kesyirikan berbalut budaya. Tak cuma melarang, mereka menebar ancaman. Perusakan sejumlah properti sedekah laut dan teror terhadap penduduk Pantai Baru, dengan dalih apa pun, jelas tidak dapat dibenarkan.
Sudah seharusnya kita melestarikan tradisi yang telah berlangsung puluhan tahun. Tradisi turun-temurun itu memperkuat keberagaman kebudayaan di negeri ini. Nilai-nilai, norma, pengetahuan, adat istiadat, dan tradisi yang mengakar di dalam masyarakat Yogyakarta juga menjadi salah satu alasan pemerintah menyematkan status istimewa kepada provinsi tersebut. Itu sebabnya pemerintah harus melindungi pelaksanaan tradisi serupa.
Keberagaman budaya dan tradisi yang selalu dijaga menjadi daya tarik wisatawan. Tradisi Sekaten di Yogyakarta dan Surakarta, misalnya, menjadi agenda tahunan yang selalu ramai dikunjungi wisatawan. Begitu pula dengan tradisi Grebek yang sampai sekarang digelar. Adapun warga Desa Dlingo, Bantul, menggelar tradisi Rojokoyo sebagai sarana wujud syukur atas melimpahnya hasil pertanian dan peternakan. Tradisi seperti itu semestinya bisa jalan beriringan dengan agama tanpa perlu ada gesekan.
Agar kejadian serupa tidak terulang, polisi harus bertindak tegas dan tanpa kompromi menindak para pelaku yang melarang tradisi sedekah laut. Inilah saatnya aparat kepolisian menunjukkan kewibawaannya. Selama ini sejumlah kegiatan yang berkeyakinan lain dibubarkan dengan kekerasan. Ironisnya, hal itu sering terjadi di bawah hidung penegak hukum. Hal ini yang menyuburkan kelompok intoleran tumbuh di mana-mana.
Bukan sekali ini saja kekerasan terjadi di Yogyakarta. Seorang pria menyerang jemaat Gereja Santa Lidwina di Dusun Bedog, Sleman, pada Februari 2018. Sebelum menyerang gereja, kelompok intoleran berulang kali menyerang mereka yang berbeda keyakinan, menghentikan pemutaran film, melarang diskusi, hingga merusak kuburan.
Sekarang, mereka menyerang tradisi dan kegiatan kebudayaan. Toleransi kian tertekan di bawah jurang. Padahal, penghargaan atas perbedaan itulah yang membuat Indonesia bisa bertahan.