Pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dengan Bank Dunia masih berlangsung di Nusa Dua, Bali. Hajatan ini lancar saja karena persiapannya yang sangat matang. Namun ada suara tak sedap dari beberapa “tokoh oposisi” yang menyebutkan pertemuan ini sama sekali tidak peka terhadap situasi Tanah Air yang penuh dengan bencana. Gempa di Lombok belum tuntas ditangani, disusul gempa disertai tsunami di Palu yang lebih dahsyat. Mereka bahkan meminta hajatan itu dibatalkan.
Kenyataannya, pertemuan IMF jalan terus. Dari 189 negara anggota IMF, sudah ada 15 ribu peserta yang datang, bahkan ada yang menyebutkan jumlah itu bertambah menjadi 25 ribu karena anggota delegasi resmi mengajak keluarga dan kerabatnya. Tak semua mengikuti sidang IMF. Obyek wisata pun sudah kebanjiran tamu kelas kakap.
Biaya besar itu yang jadi persoalan. Kalau ditotal, uang yang keluar mencapai Rp 5,75 triliun. Kenapa besar sekali? Karena Rp 4,8 triliun digunakan untuk infrastruktur di Bali. Hajatan itu sendiri hanya dianggarkan sekitar Rp 800 miliar, dan itu pun bisa dihemat.
Pesta para menteri keuangan sejagat ini sebenarnya “suatu keajaiban” bagi Bali. Gara-gara ada IMF, pembangunan infrastruktur di Bali selatan kembali dilakukan, padahal sudah ada moratorium untuk membangun sarana pariwisata di kawasan itu.
Orang tahu, bagaimana gigihnya masyarakat Bali menolak reklamasi di pantai Bali selatan, khususnya Teluk Benoa. Pantai harus dijaga kelestariannya agar ritual keagamaan berlangsung dengan mulus. Gara-gara IMF, sebagian Teluk Benoa direklamasi untuk memperluas pelabuhan agar kapal pesiar semakin banyak yang bersandar. Pantai Tuban juga direklamasi untuk memperluas parkir pesawat terbang yang singgah di Bandara Ngurah Rai. Padahal sudah ada “kesepakatan” Bandara Ngurah Rai tak bisa diperluas karena menabrak berbagai tempat suci. Untuk itu dirancang bandara baru di Bali utara yang kajiannya sudah selesai tiga tahun lalu dan hanya menunggu izin lokasi.
Pertemuan IMF ini juga disebut “membawa untung” dan bukan menghamburkan uang. Selain investasi yang masuk lumayan besar, ada bantuan untuk korban gempa Lombok dan Palu-perputaran uang di Bali bertambah sampai Rp 5,7 triliun selama hajatan akbar ini. Dari mana datangnya uang itu? Ya, dari ribuan peserta yang berada di Bali paling sedikit lima hari. Mereka bayar hotel, bayar makanan, sewa kendaraan, dan seterusnya.
Siapa yang mendapatkan uang itu? Tentu pelaku pariwisata di kawasan Nusa Dua dan sekitarnya, bukan masyarakat Bali utara yang sama sekali tak berurusan dengan IMF. Pemerintah Kabupaten Badung di mana Nusa Dua berada semakin kaya karena pajak hotel dan restoran mereka raup semuanya. Kabupaten lain boleh iri karena mereka hanya punya obyek wisata, tidak punya hotel besar dan restoran. Pajak hotel dan restoran sudah lama jadi bahan pergunjingan di Bali, kenapa tidak dipungut oleh provinsi dan hasilnya dibagikan merata sehingga semua rakyat Bali menikmati kue pariwisata. Tapi hal itu tak bisa dilakukan atas nama otonomi berada di kabupaten.
Inilah sisi lain dari pertemuan IMF bahwa sesungguhnya hajatan itu hampir tak punya dampak apa-apa untuk masyarakat Bali yang lebih besar. Orang miskin di Bali utara dan timur tetap saja menghiasi media massa, bersanding dengan orang kaya menghamburkan duit di Nusa Dua. Jadi, kalau disebut hajatan IMF tak peka dengan penderitaan rakyat Lombok dan Palu, seharusnya ditambah dengan tidak peka terhadap rakyat Bali yang jauh dari Nusa Dua. PUTU SETIA