Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memperbolehkan kampanye politik di sekolah dan pesantren sungguh sembrono dan berbahaya. Jika tidak dikoreksi, pernyataan Menteri Tjahjo itu bisa menimbulkan kekacauan di lapangan menjelang Pemilihan Umum 2019. Pasal 280 ayat 1(h) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah jelas melarang kampanye di tempat pendidikan dan tempat ibadah.
Dua hari lalu, Tjahjo mempersilakan partai politik menggunakan sekolah dan pesantren sebagai tempat kampanye. Menurut dia, itu hal yang wajar saja karena sebagian siswa setingkat sekolah menengah atas sudah memiliki hak pilih. Logika semacam itu mengandung sesat pikir yang perlu diluruskan. Menggunakan sekolah sebagai arena kampanye jelas berpotensi menyeret lembaga pendidikan ke dalam pertarungan politik elektoral. Sebagian siswa yang belum punya hak pilih bisa kehilangan konsentrasi belajar akibat hiruk-pikuk politik. Kerugiannya jelas lebih besar daripada manfaatnya.
Karena itu, penegasan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) bahwa pernyataan Mendagri tersebut keliru patut diapresiasi. Publik perlu mendukung kedua penyelenggara pemilu ini agar mereka bisa tetap tegas menegakkan aturan kampanye bagi semua peserta Pemilu 2019.
Ramai-ramai soal kampanye di lembaga pendidikan memang baru menyeruak sepekan belakangan. Topik ini menjadi perbincangan karena dua calon wakil presiden, Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno, kian rajin keluar-masuk kampus dan pondok pesantren untuk menemui para pemuda. Mereka berdalih sedang bersilaturahmi dan menyerap aspirasi, meski aroma kampanye tercium pekat. Bawaslu sudah beberapa kali mewanti-wanti agar Ma’ruf dan Sandiaga tak menggelar kampanye terselubung di kampus.
Sebagai bagian dari lembaga eksekutif, Menteri Tjahjo seharusnya ikut menegakkan peraturan perundang-undangan dan bukan malah menganjurkan hal sebaliknya. Apa pun opini pribadinya soal aturan itu, Tjahjo wajib menjunjung tinggi dan melaksanakan isi undang-undang. Terlebih, posisi Tjahjo adalah Menteri Dalam Negeri, yang notabene ikut bertanggung jawab atas suksesnya penyelenggaraan pemilihan umum.
Penjelasan Menteri Tjahjo kemarin bahwa peserta pemilihan umum hanya boleh berbicara di kampus asalkan diundang dan materinya sebatas soal sosialisasi pemilu jelas terlalu dibuat-buat. Sosialisasi pemilu biasanya dilakukan oleh KPU, yang memiliki struktur aparatur hingga tingkat kabupaten dan kota. Sudah seharusnya Tjahjo secepatnya meralat semua pernyataannya yang keliru dan minta maaf kepada publik.
Di sisi lain, tak bisa masuk kampus jelas bukan akhir perjuangan para calon presiden, wakil presiden, dan anggota badan legislatif. Ada banyak cara untuk mendekati calon pemilih muda tanpa melanggar ketentuan pemilu. Media sosial bisa menjadi alternatif. Apalagi sekitar 98 persen dari seluruh pengguna Internet di Indonesia-sekitar 130 juta orang-merupakan pengguna Facebook, Instagram, dan Twitter. Di sini dibutuhkan kreativitas para politikus dalam mengemas pesan yang mengena, bukan anjuran pejabat untuk beramai-ramai melanggar aturan pemilu. *