DIHANTAM gempa dan tsunami Aceh 14 tahun lalu, kita belum sepenuhnya bisa belajar dari pengalaman. Pada 28 September lalu, Palu, Donggala, dan Sigi di Sulawesi Tengah dipukul bencana yang sama. Lebih dari seribu orang dilaporkan tewas.
Rentetan lindu itu dimulai pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Tengah dengan magnitudo 5,9. Gempa berikutnya tiba pada pukul 18.02 Wita dengan magnitudo 7,4. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika merilis peringatan bahwa gempa itu berpotensi menimbulkan tsunami, yang diperkirakan tiba 20 menit kemudian. Tapi tsunami setinggi 1,77 meter menghantam Teluk Palu pada pukul 18.10. Setelah air laut surut, enam menit kemudian, datang tsunami kedua setinggi 1,5 meter. Namun ketiadaan perangkat peringatan di lapangan tidak membuat masyarakat waspada terhadap ancaman bahaya tersebut.
Peringatan dicabut pada pukul 18.36 Wita berdasarkan hasil pengamatan petugas di lapangan yang melihat air laut telah surut. Setelah video rekaman bencana beredar di media sosial, baru Badan Meteorologi memberikan konfirmasi kebenaran adanya tsunami di Palu, Donggala, Sigi, dan sekitarnya.
Ketika itu, ribuan orang sudah tersapu gelombang, terjebak bangunan runtuh, atau tertimbun tanah yang mencairdisebut sebagai likuefaksi. Pemerintahan lokal lumpuh. Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu ikut mengungsimembuat mereka absen dalam rapat koordinasi, termasuk setelah dua kali Presiden Joko Widodo datang ke sana. Sejumlah lokasi bencana belum tersentuh bantuan hingga sepekan setelah gempa.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana harus menengok kembali sistem peringatan dini yang kita miliki. Dimulai setelah bencana Aceh 2004, sistem itu kini berantakan. Bahkan, pada 2012, diketahui tak satu pun dari 22 buoy pendeteksi yang dipasang di laut berfungsi baik. Sebagian hilang atau menjadi korban vandalisme. Walhasil, salah satu kesempatan menyelamatkan ribuan nyawaatau sebagian di antaranyadi Sulawesi Tengah pun sirna.
Pemerintah hendaknya bersikap terbuka terhadap publik. Bersikap defensif, misalnya ketika menyangkal isu penjarahan toko dan barang bantuan, tak boleh lagi terjadi. Mengakui adanya kekurangan lalu memperbaikinya akan jauh lebih diapresiasi publik ketimbang menyembunyikan masalah di bawah karpet.
Keputusan pemerintah pusat membuka pintu bagi bantuan negara lain sudah layak diapresiasi. Begitu juga langkah Jokowi menunjuk Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai komandan penanganan gempa Sulawesi Tengah dengan tugas mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Kalla memiliki pengalaman menangani bencana Aceh. Ketika itu, setidaknya 25 ribu orang tewas tersapu air bah.
Meski demikian, wewenang Kalla sebagai komandan lapangan itu harus diperjelas. Ia mesti memiliki wewenang penuh penanggulangan bencana Palu sejak tahap tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
Belajar dari tsunami Aceh, komandan penanganan adalah pekerjaan penuh waktu. Pelbagai problem teknis dan strategis datang silih bergantidari mengatur logistik hingga mengkoordinasi pelbagai pemangku kepentingan yang kerap bentrok karena kepentingan sektoral. Jika tugas penuh waktu itu tak terpegang, Kalla bisa menunjuk pelaksana harian dengan otoritas penuh.
Pemerintah perlu segera memetakan dampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Jika tingkat kerusakannya tidak mungkin tertanggulangi dengan cara-cara biasa, pemerintah bisa membentuk badan rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut undang-undang, proses pemulihan wilayah yang terkena gempa memang menjadi tugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Langkah luar biasatermasuk, jika diperlukan, menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undangselayaknya dipertimbangkan.
Berada di cincin api yang rawan bencana, Indonesia tidak boleh lengah. Prosedur penanganan bencana harus dengan saksama dilaksanakan. Masyarakat mesti mendapat informasi yang cukupterutama tentang bahaya tsunami setelah gempa yang berpusat di laut.
Segera setelah duka dan pilu mereda, pemerintah mesti membenahi sistem peringatan bahaya itu. Kewajiban ini juga harus ditanggung pemerintah daerah yang memiliki wilayah pantai dengan potensi gempa tinggi. Kegiatan ini memang tidak terlihat nyata di mata publik, berbeda dengan pembangunan fisik semacam infrastruktur. Namun semua mesti dilakukan atas nama perlindungan bagi jutaan jiwa penduduk yang bermukim di sekitar pantai Indonesia.