Ulah Ratna Sarumpaet mengarang kisah penganiayaan dirinya merupakan tragedi demokrasi. Kebohongannya sulit dilepaskan dari posisi dia sebagai juru kampanye pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang berlaga dalam pemilihan presiden 2019. Praktik kotor seperti ini harus diperangi karena menipu rakyat sekaligus mencemari pemilu.
Sandiwara Ratna semakin menghebohkan setelah Prabowo menggelar konferensi pers mengutuk "penganiayaan" itu. Media sosial pun dipenuhi silang pendapat soal kisah Ratna yang dikabarkan dipukuli oleh orang tak dikenal di Bandung pada 21 September lalu. Kisah ini kemudian mencurigakan, karena polisi menemukan bukti lengkap bahwa pada hari itu Ratna menjalani operasi plastik di Jakarta.
Akhirnya Ratna membuka kedoknya. Ia mengungkapkan bahwa lebam di wajahnya bukan karena penganiayaan, melainkan akibat operasi plastik. Ratna juga mengakui bahwa dirinya merupakan pencipta hoaks terbaik. Gara-gara ulah Ratna ini, pasangan Prabowo-Sandiaga pun mengadakan konferensi pers lagi untuk meminta maaf kepada publik.
Kebohongan Ratna merupakan pelajaran berharga bagi kita semua untuk tidak mudah percaya pada kabar yang belum terverifikasi. Di era digital sekarang, begitu mudah orang menyebarkan berita bohong dengan berbagai motif: dari sekadar bikin heboh hingga motif politik menghadapi pemilu.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan angka hoaks di negara kita mencapai 800 ribu konten per tahun. Adapun riset yang dilakukan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia dari Juli hingga September lalu menemukan 230 kabar bohong beredar di masyarakat. Sekitar 58,7 persen di antaranya berkaitan dengan pemilihan presiden.
Skandal Sandiaga Uno yang dimuat sebuah situs abal-abal merupakan contoh kabar hoaks yang berkaitan dengan pemilu. Berita yang tak terverifikasi itu jelas bermotif menyudutkan calon wakil presiden tersebut. Kabar palsu seperti ini laris manis karena calon pemilih umumnya sulit untuk bersikap kritis. Mereka cenderung mempercayai informasi yang mengukuhkan pilihan politiknya.
Kementerian Komunikasi bersama penegak hukum harus berupaya keras memberantas hoaks. Aturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat digunakan untuk membendung hoaks tanpa harus mengorbankan kebebasan berpendapat. Bukan hanya pencipta hoaks, penyebarnya pun bisa diproses hukum jika memang berniat jahat dan menyadari betul ihwal kepalsuan kabar itu.
Polisi pun harus tetap mengusut kasus Ratna Sarumpaet kendati ia sudah mengakui berbohong dan meminta maaf. Ratna, yang telah dipecat dari tim kampanye Prabowo, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seperti halnya kabar hoaks yang banyak berseliweran, kebohongan Ratna telah mencemari proses demokrasi republik ini.