Eriz Wicaksono
Staf Kementerian Luar Negeri
Bali akan menjadi tuan rumah untuk pertemuan tahunan ekonomi dan keuangan terbesar di dunia, International Monetary Fund-World Bank Group Annual Meetings (IMF-WBG AM) 2018, pada 12-14 Oktober mendatang. Pertemuan ini akan menghadirkan sekitar 15 ribu delegasi yang terdiri atas menteri keuangan dan gurbenur bank sentral dari seluruh negara anggota IMF dan World Bank, swasta, akademikus, hingga organisasi dan asosiasi kemasyarakatan.
Terdapat tiga manfaat utama atas penyelenggaraan pertemuan ini di Indonesia. Pertama, seperti persiapan Asian Games 2018, pertemuan ini juga menjadi momentum penyelesaian berbagai proyek infrastruktur yang dinanti masyarakat, seperti Tanjung Benoa Cruise Terminal, Underpass Bandara, dan Tempat Pembuangan Akhir Suwung.
Bahkan, sekitar Rp 868 miliar anggaran penyelenggaraan pertemuan ini dipastikan akan dirasakan oleh masyarakat sendiri. Sebesar Rp 243 miliar di antaranya akan digunakan untuk menyewa penginapan bagi delegasi, yang berarti uang tersebut akan otomatis kembali untuk Indonesia. Adapun Rp 655 miliar untuk pengembangan infrastruktur dan kegiatan lainnya yang akan memberi hasil nyata untuk masyarakat.
Kedua, sektor pariwisata dan meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) jelas akan menjadi sektor yang merasakan peningkatan signifikan saat perhelatan tersebut. Diperkirakan seluruh hotel di Bali akan mencapai tingkat okupansi 100 persen selama kegiatan berlangsung. Kehadiran delegasi juga akan memberikan devisa yang besar. Dan bahkan pertemuan ini diperkirakan akan memberikan suntikan Rp 6,9 triliun untuk ekonomi Indonesia.
Ketiga, keberhasilan pertemuan ini akan membuka pintu gerbang investasi ke Indonesia. Momentum ini akan memperkenalkan Indonesia kepada dunia, bukan hanya dari sisi pariwisatanya, tapi juga menunjukkan stabilitas politik dan ekonomi serta kemajuan pembangunan fisik dan non-fisik di sini.
Selain itu, ada tiga isu yang perlu Indonesia optimalkan dalam pertemuan ini. Pertama, isu penyebaran demografi yang tidak merata. Penyebaran demografi yang cenderung lebih banyak pada usia produktif seharusnya memberikan manfaat positif, yang disebut sebagai bonus demografi. Namun, terdapat dua masalah potensial di sini. Masalah pertama adalah bila generasi produktif tidak mendapat kesempatan berkontribusi karena penyerapan tenaga kerja yang kurang baik hingga masalah child stunting, saat generasi muda terhambat tumbuh kembangnya sehingga tidak dapat berkinerja secara optimal.
Masalah berikutnya adalah masalah yang mungkin tidak dapat dihindari tapi tetap perlu diatasi, yaitu bergesernya penduduk usia produktif ke usia non-produktif akibat berjalannya waktu. Apalagi saat ini terdapat kecenderungan menurunnya tingkat kelahiran sehingga penyebaran demografi di masa depan dapat menunjukkan piramida terbalik dengan jumlah penduduk berusia lanjut lebih banyak daripada generasi muda. Akibatnya, usia produktif yang jumlahnya tidak banyak perlu menopang ekonomi untuk seluruh penduduk usia non-produktif yang berjumlah lebih banyak.
Kesempatan lainnya yang perlu dimanfaatkan adalah kesempatan untuk mempromosikan upaya-upaya Indonesia dalam melakukan integrasi ekonomi digital, mendorong fintech, serta mewujudkan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Berbagai start-up Indonesia saat ini tengah berkembang dengan sangat pesat, bahkan empat di antaranya telah menapai kategori Unicorn, yaitu Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Kegiatan IMF-WBG yang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan ini merupakan suatu kesempatan bagi para start-up Indonesia yang tengah melakukan ekspansi pasar di Asia.
Terakhir adalah kesempatan untuk bersama-sama menghadapi tren ekonomi dunia saat ini, yaitu tertekannya kegiatan industri dan produk lokal atas dampak dari perdagangan bebas. Beberapa negara kini tengah mengkaji komitmen mereka atas perdagangan bebas dan bahkan mulai beramai-ramai menerapkan safeguard tariff untuk memulihkan industri lokal. Jika tidak didiskusikan secara komprehensif dan inklusif, dinamika ini berpotensi untuk membawa dunia menuju arus proteksionisme.