Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Data terbaru Badan Pusat Statistik menunjukkan perekonomian Indonesia, berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga pada triwulan II 2018, tercatat sebesar Rp 3.683,9 triliun. Ini tumbuh 9,43 persen dari triwulan yang sama tahun sebelumnya dan juga tumbuh 5,05 persen dibanding triwulan sebelumnya. Jadi, bila diakumulasi, sepanjang semester pertama, PDB nasional mencapai Rp 7,19 triliun.
Pengeluaran konsumsi rumah tangga masih merupakan komponen penting. Capaian kuartal II 2018 merupakan yang tertinggi sepanjang pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Keberhasilan ini tak lepas dari meningkatnya tunjangan hari raya bagi aparat sipil negara, yang kini mencakup take home pay, dan gaji ke-13. Rendahnya inflasi juga ikut membantu mendorong daya beli masyarakat. Dana desa dan bantuan sosial juga memperbaiki daya beli masyarakat pedesaan.
Jadi, saya kira, salah satu strategi untuk menjaga momentum pertumbuhan, pemerintah sebaiknya tetap berfokus memperbaiki daya beli, mendorong konsumsi masyarakat, plus menjaga inflasi tetap rendah. Selain itu, pemerintah terutama harus memberikan insentif bagi industri padat karya yang berorientasi ekspor, yang bersedia membawa pulang dolarnya untuk memperkuat cadangan devisa kita.
Pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya adalah soal ekspor yang kalah oleh banyak negara tetangga, terutama Vietnam. Padahal, Indonesia memiliki hampir semua faktor yang dimiliki Vietnam. Jika Vietnam ditopang oleh tenaga kerja murah, yang upahnya sekitar US$ 165 per bulan, di Indonesia juga masih banyak kawasan industri yang upah minimumnya US$ 115. Dari sisi demografi, Indonesia juga memiliki usia median yang lebih muda dari Vietnam, yaitu 28,3 tahun, berdasarkan data dari Worldometers.
Tapi Vietnam jauh lebih serius mereformasi iklim bisnisnya dengan berbagai kemudahan investasi. Jika dekade sebelumnya Indonesia hanya kalah dalam pertumbuhan investasi langsung asing (FDI), pada 2016 net inflows FDI Vietnam telah menyalip Indonesia.
Kemudahan investasi di Vietnam tak hanya proses perizinan yang langsung dilayani di kawasan industri. Negeri itu juga menyediakan tanah dengan ongkos yang terbilang murah dan bahkan gratis untuk industri strategis. Hal tersebut tentu berbeda dengan Indonesia, yang proses perizinannya harus melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal di pusat, waktunya terbilang cukup lama, dan proses pengurusan perizinan di daerah berbelit-belit. Survei World Bank atas kemudahan berusaha mencatat, untuk memulai usaha di Indonesia masih membutuhkan 11 prosedur, sedangkan Vietnam hanya sembilan prosedur.
Vietnam berhasil meneken perdagangan bebas Trans-Pacific Partnership sejak 2015 sehingga leluasa menembus pasar Amerika Serikat dan 10 negara lain. The Observatory of Economic Complexity mencatat, ekspor total Vietnam ke Amerika menembus angka US$ 38,1 miliar, dua kali lipat nilai ekspor Indonesia, yang hanya US$ 16,2 miliar pada 2016. Jadi, tak mengherankan, kinerja ekspor terhadap PDB Vietnam mampu berkontribusi sekitar 90 persen, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya 20 persen terhadap PDB sebelum dikurangi impor.
Vietnam juga memperluas aliansi ekonomi melalui Vietnam-European Union Free Trade Agreement. Adapun Indonesia terjebak dalam perundingan yang berbelit-belit dengan Uni Eropa, yang sampai hari ini pun tak kunjung selesai.
Untuk itu, selain mempercepat proses perizinan dan memperbaiki iklim investasi, pemerintah harus mendorong penguatan konsumsi dalam negeri. Dengan basis pasar di dalam negeri yang kuat, industri akan mencapai skala ekonomi maksimum dan lebih kompetitif untuk menembus pasar ekspor. Sebut saja, misalnya, pasar mobil multi-purpose vehicle (MPV) yang bergeliat sangat positif berkat berbagai “insentif”. Kondisi tersebut ikut mendorong prinsipal Jepang menjadikan Indonesia sebagai basis produksi ekspor MPV ke sejumlah kawasan.
Perluasan penyerapan hasil industri di dalam negeri seperti itu sejatinya bisa dilakukan dengan beberapa pendekatan. Sebagai langkah awal, misalnya, pemerintah dan aparat negara harus bertindak tegas membasmi semua barang impor ilegal yang membanjiri pasar Indonesia, menghukum berat jaringan pelakunya, bahkan, jika diperlukan pemerintah bisa saja menenggelamkan kapal-kapal penyelundup tersebut.