Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang
Pemilihan presiden (pilpres) akan berlangsung pada 17 April 2019, tapi kehebohannya telah terjadi, bahkan sebelum penetapan calon presiden-wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum. Perkara siapa presiden mendatang menjadi topik hangat di media massa dan media sosial.
Masyarakat terbelah antara pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin dan penyokong Probowo-Sandiaga. "Perang" antar-pendukung terjadi di berbagai media sosial. Perdebatan ini telah menguras energi masyarakat. Mereka lupa bahwa perdebatan ini tidak mengenyangkan, tidak menyejahterakan, dan tidak mencerdaskan, serta tidak ada hubungannya dengan cita-cita bangsa dan negara ini.
Kita perlu memahami bahwa pemilihan presiden merupakan ritual rutin dalam berdemokrasi untuk menentukan dan menjamin pergantian pemimpin nasional secara periodik. Maka, bila pada 2019 diselenggarakan pemilihan presiden (lagi), hal tersebut bukanlah sesuatu yang istimewa. Momentum semacam ini harus terjadi di setiap negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tak terkecuali di Indonesia.
Bangsa ini sebenarnya memahami bahwa demokrasi memuat nilai-nilai yang harus dijaga bersama. Salah satunya adalah kompetisi dan saling menghormati. Berkompetisi untuk menang dalam pemilihan umum merupakan hal yang pasti, tapi tetap harus menjaga martabat masing-masing dengan saling menghormati. Pihak yang menang segera merangkul yang kalah, yang kalah segera mendukung yang menang. Hal inilah justru yang kini sulit ditemukan di negara ini. Lawan politik akan tetap menjadi musuh walaupun pemilihan telah usai.
Yang lebih gawat, berbagai kerumitan persoalan bangsa ini seolah akan bisa begitu saja diselesaikan hanya dengan mengganti presiden. Masalah utang negara, pengangguran, penguasaan sumber daya alam, kemacetan, kemiskinan, kesenjangan, dan lain-lain seolah-olah akan berakhir bila presiden diganti. Ini adalah pikir yang sesat.
Apakah pada 2019 terjadi pergantian presiden atau tidak, hal-hal tadi masih tetap menjadi masalah bangsa dan negara ini. Siapa pun presidennya, negara ini akan tetap menghadapi masalah utang, kemiskinan, dan lain-lain itu.
Sesungguhnya, ada cara-cara yang tidak tepat yang dilakukan oleh presiden sekarang ini dalam strategi penyelesaian masalah maupun dalam menjawab kritik. Semestinya presiden menjelaskan secara arif soal belum dilaksanakannya janji-janji presiden saat kampanye. Masyarakat memahami bahwa, sejak dihapusnya Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, maka yang menjadi target kinerja presiden adalah program yang ditawarkan pada saat kampanye.
Bila hal-hal yang dikritik itu berkaitan dengan masalah yang belum teratasi atau semakin buruk, tidak memadai bila dijawab bahwa hal tersebut merupakan warisan pemerintahan sebelumnya. Sejak dilantik sebagai presiden, masalah yang belum terselesaikan oleh pemerintah sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah sekarang. Sebab, pemerintahan sekarang merupakan kelanjutan dari pemerintahan terdahulu yang memang sudah bermasalah. Tidak bisa mengajukan argumen bahwa masalah utang, kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya itu merupakan masalah pemerintah sebelumnya.
Begitu pun dengan para pengkritiknya. Asumsi bahwa mengganti presiden akan menyelesaikan masalah bangsa ini merupakan sesat pikir. Bila hal ini terus-menerus digulirkan, yang akan muncul adalah kekecewaan demi kekecewaan. Mereka lebih baik menunjukkan kelemahan atau kesalahan program pemerintah dan menawarkan alternatif solusinya. Marilah kita didik masyarakat dengan cara-cara yang cerdas, bukan dengan cara-cara pragmatis.