Kasus yang menimpa mantan Direktur Utama Pertamina Karen Galaila Agustiawan perlu diselidiki dengan lebih saksama. Jika tidak ditemukan kesengajaan untuk melakukan korupsi, seharusnya kasus ini tak perlu dipaksakan. Apalagi jika kebijakan perusahaan telah dilakukan secara pruden dan melalui prosedur yang semestinya. Karen kini mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam investasi PT Pertamina di Blok Basker, Manta, Gummy (BMG) Australia pada 2009.
Selain Karen, Chief Legal Counsel and Compliance PT Pertamina Genades Panjaitan, mantan Direktur Keuangan Pertamina Frederik Siahaan, dan bekas Manager Merger &Acquisition Direktorat Hulu PT Pertamina Bayu Kristanto juga menjadi tersangka.
Kasus ini berawal dari keputusan Pertamina mengambil alih 10 persen hak partisipasi di Blok BMG yang digarap perusahaan hulu migas Australia, Roc Oil Company Limited, pada Mei 2009. Tawaran yang tiba empat bulan sebelumnya itu menunjukkan data rata-rata produksi BMG tahun sebelumnya sebesar 8-12 ribu barel per hari. Akuisisi kemudian dilakukan berdasarkan Agreement for Sale and Purchase-BMG Project pada 27 Mei 2009.
Lewat akuisisi tersebut, Pertamina berharap memperoleh jatah sedikitnya 800 barel per hari. Namun, nyatanya, produksi rata-rata BMG sepanjang April-Desember 2009 hanya 2.517 barel per hari. Laju produksi minyak di blok ini belakangan terus menyusut.
Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan menilai ada kerugian negara hingga Rp 568 miliar akibat investasi ini. Kasus ini kemudian diusut Kejaksaan Agung sejak akhir 2016. Diduga terdapat penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi ini.
Kasus Karen ini perlu menjadi titik tolak baru bagi pemerintah dan Pertamina untuk memperketat pengawasan terhadap investasi yang besar dan berisiko. Kejaksaan menuding Karen tak melakukan uji tuntas atau due diligence secara semestinya, juga mengambil keputusan tanpa persetujuan Dewan Komisaris Pertamina.
Investasi di bidang minyak dan gas bumi memang berisiko tinggi. Kesalahan mengambil keputusan bisa berujung pada tuntutan korupsi. Padahal kehati-hatian sudah dilakukan direksi. Ketika pengeboran gagal, kemungkinan risiko ini muncul sangat besar. Karena itu, perusahaan negara seperti Pertamina sebaiknya tak menggarap bisnis migas di hulu yang berisiko tinggi. Berfokus saja menjalankan kewajiban pelayanan publik atau bisnis komersial di hilir yang faktor risikonya kecil.
Jika BUMN Migas diarahkan menjadi korporasi yang secara penuh bersifat komersial, apalagi di sektor hulu, tentu harus ada kesamaan cara pandang pemerintah dan penegak hukum tentang risiko bisnis seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam perkara bisnis, wajar jika keputusan direksi memiliki potensi merugi dan hal ini tak selalu berarti pidana.