Ronny P. Sasmita
Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional
Turki telah mengalami turbulensi ekonomi yang sangat menegangkan. Mata uang lira tercatat anjlok lebih dari 40 persen dibanding posisi dolar Amerika Serikat hingga Agustus lalu. Struktur perekonomian Turki memang sudah tidak sehat karena defisit neraca transaksi berjalan yang akut, ketergantungan yang semakin besar terhadap investor asing, dan menguatnya pengaruh kebijakan ekonomi Presiden Amerika Donald Trump serta sentimen politik Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang kian tak bersahabat.
Defisit transaksi berjalan Turki yang berkelanjutan menjadi titik sentral kelemahan perekonomiannya. Selama 2000-2017, total defisit transaksi berjalannya mencapai US$ 555,37 miliar. Celakanya lagi, pada periode yang sama, total defisit transaksi perdagangannya mencapai US$ 768,17 miliar. Dan, sepanjang tahun itu tidak ada transaksi perdagangan yang positif.
Turki harus memperoleh sumber pembiayaan lain. Maka, pinjaman asing pun otomatis kian besar. Jadi, sangat wajar jika volatilitas ekonominya juga menjadi sangat bergantung pada ekspektasi dan psikologi pasar dari para pendana asing. Sejak 1992 sampai hari ini, setidaknya Turki mempunyai utang terhadap orang asing senilai total defisit transaksi berjalannya, yaitu US$ 566,53 miliar. Bagi perekonomian sebesar Turki, yang pendapatan domestik brutonya pada 2017 masih US$ 852 miliar, posisi utang yang bersumber dari dana asing tersebut tentu sangat membebani.
Titik lemah perekonomian Turki ketiga adalah struktur sumber dana asing, yang digunakan untuk membiayai defisit transaksi berjalan, didominasi oleh dana panas berupa portofolio investasi, baik saham maupun obligasi pemerintah. Dana asing tersebut bersifat "segera dapat kembali" tatkala muncul sentimen negatif atas ekonomi Turki.
Hampir 80 persen dana panas tersebut ditanam dalam obligasi pemerintah Turki, yang notabene dana tersebut juga digunakan untuk pembiayaan operasional pemerintah Turki. Artinya, struktur ekonomi Turki selalu diwarnai dengan defisit kembar, yaitu defisit transaksi neraca berjalan dan defisit fiskal yang persisten dan akut. Keduanya adalah ciri dari suatu struktur ekonomi yang tidak sehat.
Masalahnya tentu akan semakin sulit tatkala defisit transaksi berjalan tersebut terus membesar di satu sisi dan aliran dana panas juga mulai keluar dari Turki di sisi yang lain. Eksodus uang panas tersebut masih berlanjut hingga batas waktu yang belum jelas, sampai terjadi kepanikan pasar uang berikutnya, setelah terjadi kepanikan pada 10 Agustus lalu.
Dengan defisit kembar yang terus melebar dan tingkat pengangguran yang mencapai 10 persen, wajar jika investor bereaksi negatif. Situasi bertambah parah setelah konflik politik Turki dengan Amerika menajam. Yield obligasi negara Turki melonjak hingga 22 persen dan selama tahun berjalan mata uang lira anjlok 45 persen. Walhasil, proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini pun hanya sekitar 4,1 persen, terbilang rendah dibanding 2017 yang sebesar 7,4 persen.
Krisis ekonomi dan risiko gagal bayar obligasi Turki tentu berpotensi menekan ekonomi Eropa. Sumber Bank for International Settlement per kuartal pertama tahun ini mengungkapkan bahwa Spanyol memiliki exposure sekitar 36 persen surat berharga Turki, disusul Prancis (16 persen), Italia-Inggris-Amerika (masing-masing 8 persen), dan Jerman (6 persen).
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan asumsi perbankan Indonesia tidak memiliki exposure atas surat berharga Turki, dampak langsung krisis ekonomi Turki tentu relatif terbatas. Namun krisis Turki sangat berpengaruh pada perpanjangan siklus "dolar kuat" yang hanya bisa diredakan apabila ekonomi Eropa menguat, seperti yang terjadi selama 2017. Celakanya, krisis Turki justru membuat zona Eropa semakin rentan atas berbagai risiko perlambatan. Artinya, secara umum Indonesia akan turut terkena dampak risiko mata uang yang terkait dengan penguatan dolar, kemudian berlanjut dengan kian memburuknya sentimen terhadap negara berkembang.