Penjualan tenaga kerja Indonesia melalui situs Carrousel di Singapura sungguh tak sepatutnya terjadi. Pemerintah semestinya melindungi para buruh migran, terutama dalam hal yang berkaitan dengan masalah hukum.
Seperti dilansir media Singapura, Strait Times, pekan lalu, pengguna situs Carrousel dengan akun @maid.recruitment memajang foto para perempuan dengan tulisan "Indonesian Maid" di situs jual-beli online tersebut. Ada beberapa yang dilabeli keterangan sudah berpengalaman atau ex abroad, ada pula yang belum pernah bekerja atau fresh.
Penjualan secara daring itu menuai reaksi keras dari Kementerian Tenaga Kerja Singapura atau Ministry of Manpower (MOM). Mereka mengecam cara pemasaran yang dinilai tidak pantas dalam menawarkan jasa pekerja domestik. MOM kini tengah menyelidiki kasus ini. Pihak Carrousel pun menyatakan sudah menghapus akun tersebut.
Kementerian Luar Negeri juga bereaksi. Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan Kedutaan Besar RI di Singapura telah mengirimkan nota diplomatik. Pemerintah mendesak agar dilakukan investigasi menyeluruh terhadap kasus ini.
Sikap pemerintah sudah tepat, tapi perlu ketegasan agar kasus itu tak menguap begitu saja, melainkan berlanjut hingga ke meja hijau. Pelaku harus ditemukan dan diproses secara hukum. Selain itu, jaringan penjualan manusia secara online mesti diberangus.
Permintaan maaf saja tidak cukup karena ini menyangkut harga diri bangsa. Terlebih penjualan tenaga kerja melalui situs daring dengan memajang biodata mereka melanggar Undang-Undang Agen Ketenagakerjaan di Singapura. Sanksinya berupa denda senilai Rp 800 juta atau penjara maksimal 2 tahun.
Selama ini perlindungan tenaga kerja Indonesia termasuk lemah. Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan sekitar 70 persen tenaga kerja perempuan yang dikirim ke luar negeri bekerja sebagai asisten rumah tangga. Banyak di antaranya yang terjerat kasus hukum dan berujung di penjara atau malah di tiang gantungan. Gaji yang tak dibayarkan, hak cuti yang dirampas, dan pelecehan seksual juga menambah pelik kasus buruh migran. Campur tangan pemerintah dinilai belum maksimal dalam menyelesaikan kasus seperti ini.
Berbeda dengan Filipina. Pemerintah setempat berani mendesak agar upah pekerjanya dinaikkan. Jumlah pembantu rumah tangga dari negeri itu perlahan kian menyusut digantikan pekerja di restoran dan toko-toko dengan kemampuan bahasa Inggris yang mencukupi.
Padahal jumlah devisa negara yang dihasilkan para buruh migran tak sedikit. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat devisa negara setiap tahun mencapai Rp 70 triliun dari 6 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri. Perlu komitmen dari pemerintah untuk melindungi warganya yang bekerja di luar negeri. Jangan sampai para pahlawan devisa ini hanya berakhir menjadi budak di negeri orang.