Smith Alhadar
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education
Tak peduli terhadap pengaruh besar Arab Saudi di dunia Islam, pemerintah Malaysia di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad telah memerintahkan penutupan pusat anti-terorisme yang didirikan Saudi. Pemerintah Malaysia menilai lembaga itu bertujuan mengekang penyebaran ekstremisme dan kekerasan kelompok-kelompok bersenjata, termasuk Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). The King Salman Center for International Peace (KSCIP) diresmikan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud pada Maret 2016 ketika melakukan tur ke Asia Tenggara dan Asia Timur. Lembaga itu memiliki kantor di Kuala Lumpur dan sedang menunggu pembangunan gedung permanen di Putrajaya.
Penutupan KSCIP merupakan respons pemerintahan Mahathir ihwal keprihatinan masyarakat Malaysia pada tahun-tahun terakhir ini bahwa di bawah Perdana Menteri Najib Razak dulu, Saudi meluaskan pijakannya di Malaysia. Saudi berusaha membangun sekolah dan masjid di seluruh Malaysia serta menawarkan beasiswa kepada pelajar Malaysia yang ingin melanjutkan studi di Saudi.
Mayoritas penduduk muslim Malaysia menganut mazhab Syafi’i dengan tradisi Islam moderat. Kerajaan Arab Saudi menganut salafi ultrakonservatif atau Wahabisme dengan pemahaman tauhid yang kaku: menentang bid’ah (inovasi), membatasi ajaran Islam pada generasi ketiga setelah Nabi Muhammad, dan membatasi kapasitas Islam untuk beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Pemahaman-pemahaman ini ditengarai menjadi akar sikap kaum Wahabi yang mudah mengkafirkan muslim lain. Bahkan ada yang mengaitkan terorisme muslim dengan Wahabisme. Ini mungkin yang menjadi alasan mengapa Mahathir berusaha membatasi perkembangan Wahabisme di Malaysia.
Alasan lain, Mahathir tak mau membiarkan negara mana pun menjadikan Malaysia sebagai lapangan bermain. Pandangan politik luar negeri Mahathir sejak dulu dikenal berpijak pada prinsip "memasang jarak" dengan semua negara di dunia. Inilah yang menjelaskan mengapa Mahathir meninjau ulang proyek-proyek besar di Malaysia yang dibiayai Cina. Selain meningkatkan utang luar negeri, proyek-proyek itu akan menancapkan pengaruh Cina di Malaysia. Yang tak kurang penting, Mahathir ingin mengubah hubungan Kuala Lumpur-Riyadh yang terlalu hangat, yang dibangun Najib Razak, meskipun investasi Saudi di Malaysia cukup signifikan.
Sikap Mahathir ini diambil di tengah heboh Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammad bin Salman (MBS), penguasa de facto Saudi, meluncurkan reformasi sosial. Di antara kebijakannya adalah mengizinkan perempuan mengemudi. Ironisnya, pada saat bersamaan, aparat keamanan terus memburu aktivis hak-hak perempuan. Perempuan aktivis terakhir yang ditangkap adalah Samar Badawi, saudara perempuan Raif Badawi, pegiat hak asasi manusia terkemuka Saudi yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada 2014 dengan tuduhan melecehkan Islam.
Tindakan Mahathir dalam menutup KSCIP tentu tidak ada hubungan dengan persekusi Riyadh terhadap pegiat hak asasi manusia. Tapi, jelas Mahathir ingin mereduksi pengaruh Saudi di negerinya.
Mahathir juga berencana menarik pulang pasukan Malaysia dari Saudi yang secara tidak langsung memerangkap Malaysia dalam konflik Timur Tengah selama ini. Pada 2015, Najib Razak mengirim pasukan ke Saudi untuk memfasilitasi evakuasi warga Malaysia di Yaman. Kendati tidak terlibat serangan ke Yaman, kehadiran militer Malaysia di medan perang berimplikasi pada politik luar negeri jiran tersebut. Perang Yaman telah menimbulkan keprihatinan internasional akibat dampak kemanusiaan yang mengerikan.
Langkah mereduksi pengaruh Saudi, juga Cina, di Malaysia bisa ditafsirkan sebagai upaya Mahathir mencegah Malaysia diobok-obok kekuatan eksternal.