Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kisruh Data di Musim Kemarau

Oleh

image-gnews
Seorang pekerja tidur di atas tumpukan karung beras saat dilakukan bongkar muat beras impor dari Vietnan dari kapal Hai Phong 08 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 11 November 2015. Tempo/Tony Hartawan
Seorang pekerja tidur di atas tumpukan karung beras saat dilakukan bongkar muat beras impor dari Vietnan dari kapal Hai Phong 08 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 11 November 2015. Tempo/Tony Hartawan
Iklan

KEKACAUAN data produksi beras selalu terjadi setiap kali kemarau datang. Menteri dan kepala lembaga yang berkaitan dengan komoditas strategis ini bahkan selalu berbantahan secara terbuka. Saling silang ini mengiringi harga beras di tingkat konsumen yang kian melambung, melewati harga patokan pemerintah.

Setiap institusi memakai data yang berbeda-beda. Badan Pusat Statistik mengumumkan bahwa Perum Bulog hingga Juni 2018 sudah mengimpor 865.519 ton beras senilai US$ 404 juta. Direktur Utama Bulog Budi Waseso langsung menyangkal dengan menyatakan lembaganya baru mendatangkan 500 ribu ton dari luar negeri pada kurun yang sama.

Bertahun-tahun kebijakan perberasan pemerintah selalu kedodoran. Penyebabnya data yang tak kunjung padu di antara lembaga pemerintah. Di awal tahun, Kementerian Pertanian pun menyodorkan data proyeksi produksi yang selalu optimistis. Maklum, kementerian ini memang mendapat tugas mengawal produksi beras. Proyeksinya pun harus mencerminkan optimisme produksi beras melimpah.

Produksi menurut proyeksi Kementerian Pertanian memang luar biasa: tahun ini akan terjadi surplus beras 13,03 juta ton. Produksi gabah disebut menembus 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras. Sedangkan total konsumsi beras hanya 33,47 juta ton. Artinya, impor beras tidak diperlukan.

Optimisme itu tidak selaras dengan perhitungan Kementerian Perdagangan. Dengan kalkulasi berbeda, kementerian itu menyusun rencana impor beras hingga 2 juta ton pada tahun ini. Keputusan pada Februari dan April lalu itu disebutkan buat mengantisipasi kegagalan panen jika musim kemarau berlangsung lebih panjang.

Presiden Joko Widodo seharusnya membereskan perbedaan data beras di antara lembaga pemerintahan ini. Hukum pasar sebenarnya bisa menjadi indikator pasokan beras di pasar. Dalam beberapa bulan terakhir, harga rata-rata beras eceran di tingkat konsumen terus merambat naik. Bisa disimpulkan, pasokan beras sangat terbatas-dan artinya klaim surplus produksi tidak terbukti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harga yang merangkak naik itu terjadi pada bulan ini. Rata-rata harga beras IR yang menjadi patokan pemerintah pada 23 Agustus sudah melambung jauh hingga di atas Rp 10 ribu per kilogram. Tren kenaikan harga di Agustus 2018 ini sangat tajam. Di awal Juli, harganya masih sekitar Rp 9.400 per kilogram. Kecenderungan itu masih mungkin berlanjut pada September dan Oktober ini. Sebab, iklim kering masih menyelimuti Pulau Jawa, sentra produksi utama beras.

Pemerintah harus sangat waspada karena harga beras masih berperan besar pada tingkat kesejahteraan warga. Studi Bank Dunia memperkirakan, jika harga beras naik 10 persen, angka kemiskinan naik 1,1 persen. Pemerintah semestinya berusaha sekuat tenaga menjaga agar harga beras tidak terbang tinggi. Jika diperlukan, tak perlu malu-misalnya dengan alasan politis-mendatangkannya dari luar negeri.

Kekisruhan beras tak lepas dari sikap pemerintah yang tidak rasional. Jargon swasembada beras terus didengungkan meski situasinya belum memungkinkan. Hasilnya, harga beras di tingkat konsumen terus melambung tinggi. Pada saat yang sama, indeks nilai tukar petani, yang mencerminkan kesejahteraan petani, justru turun selama pemerintahan Jokowi.

Rata-rata petani Indonesia masih menjadi konsumen beras secara neto. Jika harga beras di tingkat konsumen naik, daya beli petani dan kesejahteraannya pun ikut melorot. Jelas pula di sini, harga beras yang mahal hanya menguntungkan pedagang dan para perantara. Mereka menikmati kegamangan pemerintah yang mendewakan swasembada. Walhasil, jargon-jargon seperti itu semestinya ditinggalkan.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.