Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Bagi industri yang berbasis bahan baku impor, saat rupiah anjlok dan harga barang impor ikut terkerek, menaikkan harga jual adalah pilihan yang paling rasional. Ada cara lain, tapi tak semua perusahaan bisa mengambil pilihan tersebut. Beberapa perusahaan, terutama perusahaan makanan skala besar, misalnya, ada yang memilih pengurangan margin agar pelanggan tidak hengkang. Sayangnya, pengurangan margin bukanlah pilihan yang sehat bagi keberlangsungan bisnis.
Dengan kondisi depresiasi saat ini, diperkirakan kenaikan harga makanan bisa mencapai 3–6 persen. Yang paling rentan menaikkan harga jual adalah industri makanan berbahan baku impor, seperti terigu, gula, dan susu. Soal besaran kenaikan harga sangat bergantung pada besar-kecilnya usaha. Boleh jadi industri besar bisa menunda kenaikan harga karena memiliki stok bahan baku yang cukup, tapi tentu tidak dalam waktu yang lama.
Efek kenaikan harga makanan dan minuman biasanya tidak akan langsung dirasakan konsumen. Secara teknis, kenaikannya terasa sekitar dua bulan kemudian. Di sisi lain, kenaikan itu tak hanya terjadi karena kenaikan harga bahan baku impor, tapi juga kenaikan biaya produksi akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi dan kenaikan harga kemasan.
Kondisi serupa diperkirakan akan dialami oleh industri manufaktur lain, misalnya, tekstil bahan baku seperti serat sintetis yang sudah biasa memakai patokan harga dalam dolar Amerika Serikat. Apalagi, pada saat bersamaan, harga minyak bumi juga meningkat. Kabar buruknya, serat sintetis adalah bahan baku yang berasal dari minyak dunia sehingga masuk akal jika harganya mengekor kenaikan harga minyak.
Lantas, apa opsi yang tersisa selain menaikkan harga? Dengan kenaikan biaya produksi, pilihan industri tekstil adalah mengurangi produksi. Apalagi kondisi pasar saat ini masih terbilang sepi karena lebaran telah berlalu. Di pasar, pukulan lain sudah menunggu: produk tekstil murah impor melenggang masuk, baik secara legal maupun ilegal. Otomatis, ceruk pasar dalam negeri juga semakin tercekik dan penjualan akan mengendur.
Depresiasi akut kurs rupiah juga dipastikan akan membuat kontraktor dan pedagang pusing tujuh keliling. Nilai proyek, yang semula dipatok saat kurs rupiah bertengger di level 13.300 per dolar Amerika Serikat, tiba-tiba kini nilainya membengkak karena kurs berada di level 14.400 per dolar AS. Semua hitung-hitungan awal tentu saja akan kacau-balau. Apalagi untuk kontraktor yang mengerjakan proyek besar dan menggunakan material yang riskan terhadap gejolak pelemahan rupiah. Akibatnya, tak sedikit kontraktor yang mengajukan revisi kontrak.
Berdasarkan data dari Indonesian Olefin & Plastic Industry Association (Inaplas), sejak Juni 2018 sudah banyak kontraktor yang mengajukan revisi nilai kontrak proyek. Alasannya, jika proyek tetap dilanjutkan, kontraktor akan menanggung rugi. Sayangnya, tidak semua kontrak proyek bisa direvisi, apalagi kontrak-kontrak jangka pendek. Diperkirakan, kontraktor yang dominan akan mengajukan revisi kontrak adalah yang menggarap proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bersifat jangka panjang, khususnya proyek yang baru berjalan setelah Juni 2018. Untuk proyek yang sedang berjalan atau hampir selesai, biasanya kontraktor akan menyiasati dengan efisiensi atau dengan ikhlas menanggung kerugian.
Tampaknya, kondisi yang sama juga akan terjadi pada perusahaan perdagangan, terutama yang ikut proyek pengadaan barang kebutuhan pemerintah. Perusahaan memenangi tender saat kurs masih berada di level 13.300 per dolar AS tapi saat penyerahan barang nilainya sudah 14.400. Untuk itu, pilihan yang tersisa hanya bersiap rugi atau melakukan negosiasi ulang.
Ada pula anjuran agar perusahaan melakukan aksi lindung nilai (hedging) untuk menurunkan risiko terhadap perubahan nilai tukar mata uang. Cara ini telah dilakukan banyak pelaku industri, khususnya yang bergantung pada bahan baku impor. Artinya, secara teknis, perusahaan menempatkan dana dalam dolar sebagai cadangan devisa. Namun, bisa dibayangkan, jika begitu banyak perusahaan yang membenamkan devisanya dalam bentuk dolar, mimpi untuk membuat rupiah kembali ke level moderat akan semakin utopis. Demikianlah kondisi dunia usaha saat ini.