Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) seyogianya tetap bersikap netral dalam politik. Permintaan Presiden Joko Widodo kepada dua institusi bersenjata itu untuk ikut mengkampanyekan klaim keberhasilan pemerintah bisa menjadi preseden berbahaya.
Tugas baru mengkampanyekan "keberhasilan-keberhasilan" pemerintah itu akan menimbulkan benturan kepentingan personel kedua institusi tersebut. Apa yang dinyatakan oleh Jokowi itu, sebagai Panglima Tertinggi TNI, bisa ditafsirkan semacam perintah oleh para prajurit. Begitu juga oleh anggota Polri, lembaga yang kini langsung berada di bawah Presiden.
Permintaan Jokowi itu disampaikan di hadapan ratusan siswa Sekolah Staf dan Komando TNI serta Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri di Istana Negara, Kamis pekan lalu. Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian juga hadir bersama peserta pendidikan yang merupakan para calon perwira tinggi itu. Pidato Presiden disampaikan kurang dari dua pekan setelah Jokowi mendaftarkan diri sebagai calon presiden, berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Mereka akan bersaing dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Tugas polisi sangat berat menjelang pemilihan presiden, yang kembali membelah masyarakat ke dalam dua kelompok--mengulang peristiwa 2014. Situasi ini menuntut semua personel kepolisian bersikap netral. Kegiatan mempromosikan keberhasilan pemerintah bisa dinilai masyarakat sebagai pelanggaran prinsip netral. Jika asas netralitas ditinggalkan, para personel kepolisian akan kesulitan mengendalikan benturan di antara kedua kubu yang berkompetisi.
TNI, alat pertahanan negara untuk menangkal ancaman dari luar, semestinya juga ditempatkan dalam posisi netral. Menarik mereka ke kegiatan politik akan membuat kita mundur dalam sejarah, ketika tentara mendominasi kegiatan politik praktis sepanjang 32 tahun Orde Baru. Apalagi, kecenderungan penguatan kembali peran TNI kini sudah terjadi, antara lain dengan melibatkan mereka pada operasi-operasi penanganan terorisme yang sebenarnya merupakan wilayah tugas kepolisian.
Tugas mengkampanyekan klaim keberhasilan pemerintah semestinya bisa dijalankan partai-partai pendukung Jokowi. Untuk mempertahankan jabatannya, dia disokong pemilik kursi mayoritas Dewan Perwakilan Rakyat, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura.
Sebagai inkumben, Jokowi pun punya kesempatan seluas samudra untuk menunjukkan klaim keberhasilan. Ia, misalnya, bisa saja setiap hari menggelar seremoni peresmian proyek infrastruktur yang menjadi andalan pemerintahannya. Ia punya perangkat dan kesempatan legal untuk berkampanye, tanpa perlu melibatkan tentara dan polisi.
Presiden sepatutnya mengoreksi permintaannya kepada kedua institusi itu untuk berkampanye. Jika tidak, dia bisa dianggap melanggar undang-undang, yang secara tegas mengatur netralitas TNI dan Polri dalam politik.