Putu Setia
@mpujayaprema
Moge alias motor gede jadi pembicaraan di kampung saya, desa di lereng Gunung Batukaru. Ini gara-gara Presiden Joko Widodo yang (pura-pura) datang ke Gelora Bung Karno membuka Asian Games dengan naik moge. Sebagian besar orang percaya Presiden melakukan hal itu. Utamanya yang tidak menonton TVRI, karena stasiun televisi pemerintah yang "kurang laku" ini justru live dari luar stadion memperlihatkan Jokowi dan Jusuf Kalla bergantian datang ke GBK dengan cara yang normal.
Sebagian penonton televisi dan penonton di GBK bertepuk tangan seolah-olah semuanya itu adalah benar. Termasuk percaya Jokowi bisa jumpalitan dengan moge yang dinaikinya. Ini hiburan tersendiri bagi rakyat yang kini dalam kesusahan, lebih-lebih di Pulau Lombok yang bertubi-tubi dilanda gempa.
Lewat media sosial, saya bertanya kepada 10 sahabat, apa reaksi mereka setelah menonton video itu. Ternyata 7 orang memuji panitia yang hebat luar biasa. Dua orang nyinyir dengan mengatakan atraksi itu ngibul dan Jokowi menggunakan stuntman. Sebenarnya ini beda cara pandang saja, tapi di negeri ini sekarang, setiap perbedaan pendapat sah disebut nyinyir. Bagaimana dengan satu orang lagi? Dia menyebut Jokowi melakukan contoh yang tidak baik.
Astaga. Orang itu adalah sahabat yang bekerja di sebuah restoran di Korea Selatan. Ini bukti bahwa aksi Jokowi viral juga di media internasional. Atau sahabat itu dapat potongan video dari berbagai media sosial.
Kenapa Jokowi memberi contoh tidak baik? Pertama, video ini menunjukkan bahwa lalu lintas Jakarta memang amburadul. Seorang kepala negara saja bisa terhalang ke sebuah acara. Kedua, sekelas presiden melakukan aksi yang ugal-ugalan, bukankah itu contoh tidak baik? Ketiga, moge yang digunakannya tidak memakai pelat nomor sebagaimana aturan yang berlaku sesuai dengan undang-undang.
Contoh tidak baik itu menular ke para sekretaris jenderal partai pengusung Jokowi ketika mendaftarkan susunan tim kampanye ke KPU. Mereka ramai-ramai naik moge tanpa ada nomor polisinya. Artinya mereka naik moge liar di jalan umum tanpa ada tindakan hukum apa pun dari kepolisian. Ini membuktikan bahwa moge selama ini memang mendapat perlakuan khusus. Justru perlakuan khusus ini yang membuat citra pengendara moge tidak baik di mata sebagian rakyat.
Pengendara moge biasanya konvoi di jalanan sembari meraung-raungkan sirinenya minta pengendara lain minggir. Bahkan sering ada pengawalan dari polisi apa pun kegiatan mereka, melakukan bakti sosial sebagaimana yang diucapkan atau sekadar seradak-seruduk di jalanan bersenang-senang. Merasa sebagai raja jalanan dengan sirinenya yang ribut ini membuat masyarakat muak dengan ulah pengendara moge. Bahkan ada sekelompok masyarakat yang sengaja menghalang lajunya konvoi moge. Di Bali, beberapa ruas jalan antarkabupaten tak berani dimasuki moge karena masyarakat pasti akan melakukan perlawanan. Penggemar moge pun terus menyusut dan lihatlah betapa banyaknya iklan orang menjual moge.
Citra buruk pengemudi moge inilah yang ternyata klop dengan apa yang dipikirkan warga kampung saya. Satu orang dari 10 sahabat saya yang berkomentar negatif terhadap aksi Jokowi di atas moge, ternyata punya pengikut banyak di pedesaan. Saya jadi ragu apakah benar generasi milenial tertarik dengan moge versi Jokowi dan di mana rumah generasi milenial itu? Saya kira ada baiknya Jokowi berhitung di mana pemilih muda itu tinggal dan apa sebenarnya harapan mereka. Naik moge dengan gaya jumpalitan atau mendapatkan pekerjaan dengan mudah.