Kurnia Ramadhana
Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali bergejolak. Kali ini bukan karena ulah pihak lain, melainkan kebijakan pemimpin KPK sendiri yang akan melakukan rotasi dan mutasi terhadap 14 pejabat eselon II dan III. Masalahnya, kebijakan ini tidak didasarkan atas tolok ukur yang jelas, sehingga patut diduga sebagai sebuah pelanggaran.
Persoalan ini mengemuka karena Wadah Pegawai KPK memprotes kebijakan tersebut. Sikap itu wajar karena selama ini KPK dikenal sebagai sebuah lembaga yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap pengambilan keputusan.
Setidaknya kebijakan itu mengandung dua persoalan penting. Pertama, kebijakan tersebut diduga melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 5 aturan itu menyatakan bahwa, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berpedoman pada unsur keterbukaan dan akuntabilitas. Namun tersiar kabar bahwa Biro Sumber Daya Manusia KPK sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ini. Padahal, sebagai pelaksana tugas dalam penilaian kinerja pegawai, sudah sepatutnya kebijakan ini dikonsultasikan terlebih dulu oleh pimpinan KPK.
Kedua, kebijakan tersebut juga akan melanggar Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2013 tentang Nilai-nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK. Di situ dijelaskan bahwa pemimpin wajib menilai orang yang dipimpinnya secara obyektif berdasarkan kriteria yang jelas. Namun kebijakan itu lahir tanpa mempertimbangkan kriteria dalam penempatan seseorang. Maka dapat dikatakan bahwa inisiatif pimpinan KPK kali ini kental dengan unsur subyektivitas.
Alih-alih mendengar dan mengevaluasi kebijakannya, pimpinan KPK malah melarang pihak eksternal turut campur dalam persoalan ini. Sepertinya mereka lupa bahwa Pasal 20 Undang-Undang KPK mengamanatkan lembaga ini bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya. Sikap anti-kritik seperti ini yang justru akan menimbulkan skeptisisme publik atas integritas pemimpin KPK.
Mengingat tingginya tuntutan dan harapan publik kepada lembaga ini, sudah sepantasnya prinsip the right man on the right place selalu dijadikan acuan saat melakukan rotasi dan mutasi. Jadi, tak hanya berdalih untuk melakukan penyegaran internal dan mengabaikan prinsip-prinsip penting tersebut. Persoalan-persoalan seperti ini yang justru akan menjadi batu sandungan bagi KPK sendiri. Lembaga ini akan lebih disibukkan dengan urusan internal kelembagaan, sementara pekerjaan utama untuk memastikan penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi masih belum selesai.
Kebijakan pimpinan KPK kali ini dapat menimbulkan konsekuensi serius. Peraturan KPK secara eksplisit mengatakan, jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran etika dan perilaku yang dilakukan oleh pemimpin, dugaan tersebut diserahkan oleh Direktorat Pengawasan Internal kepada Komite Etik untuk ditindaklanjuti.
Pemberian sanksi kepada pemimpin oleh Komite Etik sebenarnya bukan hal yang mustahil terjadi. Sebelumnya tiga pemimpin KPK sempat mengalaminya. Abraham Samad, mantan Ketua KPK, pernah mendapat sanksi ringan berkaitan dengan bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum. Adnan Pandu Praja, mantan Wakil Ketua KPK, juga pernah dijatuhi sanksi karena mencabut paraf persetujuan pada lembar disposisi sprindik Anas. Yang terakhir adalah Wakil Ketua KPK saat ini, Saut Situmorang, yang mendapat sanksi pada 2016 karena mengeluarkan pernyataan yang dianggap menyinggung Himpunan Mahasiswa Islam.
Sanksi yang pernah dijatuhkan oleh Komite Etik itu menandakan bahwa sistem checks and balances telah berjalan dengan baik. Hal itu juga menunjukkan bahwa tidak ada satu pun jabatan di KPK yang lepas dari pengawasan, bahkan pada level pemimpin sekalipun.
Kritik atas rotasi dan mutasi kali ini patut dijadikan bahan evaluasi mendalam bagi pimpinan KPK. Sebuah kebijakan yang baik tentu harus diikuti dengan proses yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Jangan sampai lembaga ini justru tercoreng karena tindakan diskresi berlebih dari pemimpinnya. *