Pro-kontra akibat rencana perombakan sejumlah jabatan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa lembaga ini belum bisa menyelesaikan problem internalnya. Ribut-ribut itu semestinya tak mencuat keluar bila komunikasi antara pimpinan dan pegawai KPK berjalan dengan baik.
Semula, pimpinan KPK merencanakan pelantikan 15 pejabat setingkat direktur, kepala biro, dan kepala bagian pada 14 Agustus lalu. Tapi Wadah Pegawai KPK menolak rencana itu. Mereka meminta pelantikan ditunda sampai pimpinan KPK memastikan proses rotasi berjalan secara adil dan terbuka.
Permintaan pegawai KPK itu terbilang wajar. Apalagi selama ini pimpinan KPK kerap menyerukan agar perombakan jabatan birokrasi berlangsung transparan. Alasannya jelas, rotasi ataupun mutasi yang tertutup berisiko diselewengkan serta rawan menjadi celah suap atau korupsi dalam jabatan.
Pimpinan KPK memang menunda jadwal pelantikan para pejabat itu hingga 24 Agustus mendatang. Tapi hal itu tak menyelesaikan masalah. Sebab, mereka belum menjelaskan secara terbuka alasan rotasi, hasil penilaian terhadap setiap pejabat, serta kebutuhan pada jabatan yang dikocok ulang.
Rotasi jabatan sejatinya merupakan hal wajar dan diperlukan dalam organisasi. Tapi penjelasan pimpinan KPK bahwa rotasi dilakukan karena para pejabat itu terlalu lama pada posisinya-rata-rata lebih dari tiga tahun-terdengar kurang meyakinkan.
Orang yang kelamaan menduduki jabatan tertentu memang berisiko terperangkap di zona nyaman dan minim terobosan. Tapi bisa juga terjadi hal sebaliknya. Semakin lama orang menekuni sebuah urusan, semakin ahli dia di bidangnya. Pada lembaga dengan tugas yang ruwet seperti KPK, spesialisasi juga sangat diperlukan.
Karena itu, tak berlebihan bila Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi pun mempertanyakan rotasi tertutup serta memperingatkan akan bahaya "penggembosan" KPK dari dalam. Apalagi, beberapa kali rotasi jabatan di KPK pernah menjadi rebutan antara kubu yang berupaya menjaga independensi dan kubu yang merongrong wibawa lembaga itu.
Alih-alih meminta Koalisi tak mencampuri urusan internal mereka, pimpinan KPK seharusnya menjelaskan secara gamblang alasan rotasi. Jangan lupa, masyarakat sipil selama ini selalu membentengi KPK ketika mendapat serangan balik dari para musuhnya. Jadi, wajar saja bila masyarakat menuntut transparansi dari pimpinan KPK.
Agar polemik rotasi jabatan tak bergulir liar, pimpinan dan pegawai KPK sebaiknya segera berembuk untuk mencari solusi terbaik. Selanjutnya, KPK perlu membenahi sistem jenjang karier dan pengisian jabatan internalnya. Komisi antikorupsi harus merumuskan standar kompetensi yang jelas untuk setiap jabatan plus mekanisme evaluasinya. Bila tidak, setiap riak akibat rotasi rawan menjadi ombak yang melemahkan pemberantasan korupsi.