Putu Setia
SUDAH beberapa hari saya suka menyanyikan lagu wajib nasional yang disiarkan televisi. Bukan lagi dangdut kegemaran saya dari Via Vallen: sayang... opo kowe krungu...
Sebagai nasionalis sejati dalam merayakan 73 tahun kemerdekaan ini, saya harus menyanyikan lagu heroik warisan bangsa. Kebetulan televisi menyiarkan berkali-kali lagu itu. Judulnya Indonesia Tetap Merdeka, ciptakan C. Simanjutak. Yuk kita nyanyi: Sorak-sorak bergembira, bergembira semua. Sudah bebas negeri kita, Indonesia merdeka. Indonesia merdeka, Republik Indonesia, itulah hak milik kita, untuk slama-lamanya.
Suatu kali saya tersentak, benarkah Indonesia sudah merdeka? Lalu kenapa Meiliana, seorang ibu etnis Tionghoa, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, diadili hanya karena meminta agar pengeras suara dari masjid dekat rumahnya diperkecil volumenya? Apakah dia tidak bebas menyampaikan permohonan itu sebagai warga negara Republik Indonesia? Dalam sidang di Pengadilan Negeri Medan, jaksa menuntut agar Meiliana dihukum satu tahun enam bulan penjara. Jangankan mampu "sorak-sorak gembira" menjelang Agustusan ini, ibu 44 tahun itu malah menangis.
Saya teringat seorang Meiliana yang disanjung beberapa tahun lalu. Namun ini Meiliana yang masih muda, lengkapnya Meiliana Jauhari, pemain ganda bulu tangkis yang berpasangan dengan Greysia Polii. Meiliana ini disanjung karena mengharumkan jagat bulu tangkis dengan keberhasilannya menembus babak penyisihan Olimpiade London 2012. Sedangkan Ibu Meiliana, istri dari Lian Tui, meminta agar pengeras suara dari masjid volumenya diperkecil dan hal itu dianggap penistaan agama.
Agama ternyata menjadi hal yang paling sensitif di Republik Indonesia. Meiliana mengeluh, lalu pengurus masjid mendatangi rumahnya. Suami Meiliana sempat meminta maaf kalau permohonan mengecilkan volume pengeras suara itu dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Namun rumah Meiliana justru dikepung, dan buntutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana menista agama. Hari-hari ini, setelah perayaan 73 tahun kemerdekaan, Meiliana akan menerima vonis.
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah dihukum 2 tahun penjara karena dituduh–lalu terbukti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan oleh sebab itu dia dihukum–melakukan penistaan terhadap agama Islam. Penistaan agama itu diperkuat dengan pernyataan Ketua MUI Ma’ruf Amin. Ahok seharusnya–demi hukum–bisa mengajukan bebas bersyarat di bulan peringatan kemerdekaan ini, tapi dia memilih menunggu bebas murni. Kenapa? Karena kasusnya soal agama yang sensitif.
Ma’ruf Amin, ulama besar berpengaruh, benteng terakhir urusan fatwa yang bisa membuat "hitam-putih" soal penistaan agama, kini menjadi calon wakil presiden yang ditunjuk langsung oleh Joko Widodo. Pastilah banyak orang yang "sorak-sorak bergembira" sebagaimana lagu yang sering saya kumandangkan, tapi izinkan saya menunda untuk "bergembira semua". Saya masih perlu merenung beberapa hari, apa yang akan terjadi dengan Republik Indonesia kalau pasangan Jokowi-Ma’ruf memenangi pilpres 2019. Akankah agama makin sensitif dan kebijakan pemerintah mengacu pada agama tertentu dan intoleransi justru makin subur?
Tiba-tiba saya enggan menyanyikan lagu itu lagi. Tiba-tiba pula saya heran kenapa judul lagu itu Indonesia Tetap Merdeka, tapi liriknya tak ada menyebutkan kata-kata itu. Apakah Simanjutak ragu kalau suatu saat orang Indonesia tak lagi merdeka, setidaknya, tak merdeka menyampaikan pandangan yang berbeda?