Acara pembukaan Asian Games XVIII 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 18 Agustus nanti pastilah meriah. Kegiatan berdurasi tiga jam itu akan diisi penampilan 4.000 penari, ratusan musikus, dan pesta kembang api. Pesta olahraga dengan anggaran Rp 8,7 triliun itu diharapkan menjadi acara spektakuler yang pantas dikenang. Namun kemeriahan pesta tersebut tak ada artinya bila Indonesia tak mengukir prestasi di perhelatan olahraga Asia yang digelar di Palembang dan Jakarta itu.
Perhelatanini adalah kompetisi. Hanya rekor dan atlet berprestasi istimewa yang akan dikenang dan dicatat dalam sejarah. Jumlah medali yang dikumpulkan para atletlah yang akan diingat selamanya. Sebelumnya, Asian Games 2010 di Guangzhou, Cina; dan Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan; menjadi istimewa bagi kedua negara penyelenggara karena prestasi atlet mereka di acara itu.
Di dunia atletik, Indonesia pernah dikenal karena pelari cepat Mohammad Sarengat, yang meraih medali emas nomor lari 100 meter pada Asian Games 1962, sekaligus memecahkan rekor dengan catatan waktu 10,3 detik. Juga para pemain bulu tangkis yang selalu membawa pulang gelar, termasuk medali emas Olimpiade, seperti Rudy Hartono, Lim Swie King, Susi Susanti, dan Taufik Hidayat.
Pemerintah, Komite Olahraga Nasional Indonesia, dan federasi cabang olahraga seharusnya memanfaatkan Asian Games ini sebagai momentum untuk kebangkitan olahraga nasional dengan mempersiapkan atlet sebaik-baiknya.
Pesta pembukaan yang meriah memang perlu, tapi uang saku atlet tak boleh terlambat, makanannya harus bergizi, fasilitas latihan memadai, dan dukungan kesehatan mesti layak. Nyatanya, sampai beberapa hari menjelang Asian Games dibuka, masih banyak atlet yang terabaikan dan konsentrasinya terganggu. Para atlet tenis gelisah lantaran uang saku terlambat dibagikan; 17 atlet menembak terpaksa tidur di loker Lapangan Tembak Internasional Jakabaring Sport City Complex, Palembang, Sumatera Selatan, karena tidak ada anggaran penginapan; serta atlet voli mengeluhkan kondisi wisma atlet di Kemayoran yang tak memadai dan jauh dari tempat latihan di Senayan.
Saat ini, prestasi olahraga Indonesia sedang merosot. Dalam beberapa kali Asian Games, Indonesia bahkan belum bisa masuk 10 besar. Pada Asian Games 2014, kita cuma mengumpulkan 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu. Perolehan ini turun dibanding pada kompetisi serupa empat tahun sebelumnya, ketika kita memperoleh 4 emas, 9 perak, dan 13 perunggu. Kita tentu berharap target itu tercapai.
Tapi, gagal ataupun berhasil dalam event ini, pembenahan olahraga nasional jangan berhenti. Pembinaan untuk prestasi sebaiknya terarah pada cabang unggulan. Tak perlu berambisi untuk mencetak emas di semua cabang. Prioritaskan saja beberapa kompetisi di arena internasional, seperti yang dilakukan banyak negara. Selanjutnya, dengan pembinaan dan kompetisi yang rutin, serta sarana dan prasarana yang memadai, kita berharap atlet-atlet kita lebih siap mengukir prestasi di kompetisi multievent selanjutnya.