Pemerintah harus segera menyatakan gempa Lombok sebagai bencana nasional. Rapat berkepanjangan membahas berbagai kriteria penetapan status bencana tak banyak membantu korban di lapangan. Faktanya, gempa susul-menyusul berkekuatan 7 skala Richter itu sudah membuat ratusan orang tewas, puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal, sarana dan prasarana rusak parah, serta suplai logistik, termasuk air bersih, berantakan.
Dimensi darurat dari gempa Lombok bertambah karena ada ribuan turis yang sedang berlibur di kawasan wisata populer itu. Agar kesan baik Lombok sebagai destinasi liburan internasional terjaga, pemerintah harus bergerak tangkas merawat wisatawan yang cedera dan memulangkan semua tamu mancanegara yang selamat, dengan aman dan tertib.
Jika kondisinya dibiarkan seperti sekarang, pemerintah pusat bisa dituding mengabaikan korban bencana. Berbagai laporan dari lapangan menunjukkan kelambanan penanganan korban, kacaunya distribusi bantuan, dan tak jelasnya perbaikan infrastruktur dasar yang urgen untuk pulihnya keadaan. Padahal, akibat trauma gempa, ratusan ribu warga Lombok enggan pulang ke rumahnya sendiri. Pada saat yang sama, makanan, air minum, dan berbagai perlengkapan pengungsian belum sampai pada mereka yang paling membutuhkan.
Kekacauan ini terjadi karena penanggulangan bencana masih bertumpu pada kekuatan pemerintah daerah. Meski sudah berupaya optimal, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sejak awal tampak kelimpungan. Apalagi sebagian besar pegawai negeri sipilnya pasti terkena dampak gempa dan sibuk menyelamatkan keluarganya. Presiden Joko Widodo tak boleh membiarkan kondisi memprihatinkan ini berlarut-larut.
Kegagapan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah terlihat dari kekisruhan soal data korban tewas. Berbagai institusi dibiarkan mengeluarkan versi masing-masing, yang-parahnya-berbeda satu sama lain. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan 131 orang tewas-sebelum terjadi gempa susulan 6,2 skala Richter pada Kamis pekan lalu-sedangkan Pemerintah Provinsi menghitung ada 226 korban jiwa. Perbedaan data yang amat krusial seperti ini membuat penanganan korban pun salah sasaran dan terlambat.
Penanganan evakuasi wisatawan juga belepotan. Sebanyak 2.700 turis yang terjebak di Gili Trawangan harus menginap semalam di pulau yang porak-poranda akibat gempa, sebelum diungsikan sehari kemudian. Selama menanti, semalaman penuh mereka tak bisa tidur setelah mendengar sirene peringatan bahaya tsunami. Ribuan penyintas gempa hanya bisa pasrah karena tak ada dataran tinggi di salah satu tujuan wisata favorit di Lombok itu.
Berbagai cerita soal compang-campingnya penanganan masa darurat pascabencana itu sebenarnya sudah jadi alasan kuat untuk menetapkan status bencana nasional di Lombok. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memang mengatur lima kriteria yang menjadi dasar status itu, yakni jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Namun, jika kelima kriteria itu tak terpenuhi, Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Keadaan Tertentu juga menegaskan bahwa presiden bisa melakukan intervensi.
Kini bola ada di tangan Presiden Jokowi. Keputusannya soal status bencana di Lombok bisa mengubah nasib ratusan ribu korban yang menanti bantuan.