SEPINTAS keputusan Joko Widodo memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden terkesan sebagai strategi politik yang jitu. Kerap dipersepsikan tidak ramah kepada Islam, Jokowi justru memilih kandidat yang berasal dari "jantung" umat: Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Tak hanya mempraktikkan taktik clinch dalam olahraga tinju-merangkul lawan untuk menghindari serangan-ia menjadikan Ma’ruf sebagai tameng seraya berharap sang Kiai bisa menambah suara dalam pemilihan umum tahun depan.
Inti soalnya adalah asumsi yang telanjur dipercayai bahwa Jokowi tak disukai pemilih Islam. Setelah difitnah sebagai komunis dan bersuku Tionghoa, ia dituding tak ramah kepada Islam karena dianggap membela Basuki Tjahaja Purnama ketika Gubernur DKI Jakarta ini dituduh menghina Al-Quran. Padahal sejumlah survei mengatakan hal yang sebaliknya. Elektabilitas Jokowi 50-an persen. Mayoritas beragama Islam. Tingkat keterpilihan Jokowi itu konsisten jika responden dipilah berdasarkan afiliasi mereka pada organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Persatuan Islam. Persepsi publik terhadap keramahan Jokowi kepada Islam hanya sedikit di bawah Prabowo Subianto, penantangnya.
Memilih Ma’ruf Amin sebagai kandidat wakil presiden dengan demikian adalah strategi elektoral yang mungkin jitu, meski untuk itu Jokowi telah mempertontonkan pragmatisme politik yang telanjang. Politik seolah-olah cuma alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Ma’ruf Amin adalah ketua Majelis yang menetapkan fatwa penista agama terhadap Basuki, keputusan yang melahirkan dua demonstrasi besar dan mengantarkan Basuki ke penjara. Ma’ruf pula yang mendukung fatwa sesat terhadap Ahmadiyah, pemidanaan kelompok minoritas lesbian, gay, biseksual, dan transgender, serta fatwa haram untuk perayaan Natal. Pilihan pada Ma’ruf menggambarkan fakta yang menyedihkan: mencitrakan diri sebagai penentang politik identitas, kini Jokowi malah dengan sadar memainkannya.
Dari perspektif orang ramai, tak banyak harapan yang bisa digantungkan pada Ma’ruf. Tantangan Indonesia ke depan sangat besar: membenahi rupiah yang ambruk, mengatur strategi menghadapi perang dagang, dan menciptakan lapangan kerja buat jutaan orang yang menganggur. Memandang Ma’ruf hanya sebagai "ban serep" tentu tak bijaksana. Bagaimanapun, ia akan menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan jika Presiden berhalangan. Tentu Jokowi bukan satu-satunya pihak yang bisa disalahkan. Partai-partai pengusungnya berandil besar dalam menentukan calon wakil presiden.
Publik pun seperti dipaksa menerima pasangan kandidat yang kurang ideal karena tak banyak pilihan lain. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat mempertahankan ambang batas minimal pencalonan presiden adalah akar persoalan terbatasnya ketersediaan alternatif pemimpin nasional.
Dengan syarat yang begitu ketat-hanya partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional yang dapat mengajukan calon-jumlah kandidat jadi terbatas. Kelangkaan kesempatan ini menumbuhkan oligarki dan permainan politik uang. Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan dapat mengubah aturan-lewat gugatan uji materi terhadap presidential threshold-akhirnya menyerah karena keterbatasan waktu.
Pemilu presiden dan anggota legislatif yang dilakukan serentak membuat partai-partai menggunakan tiket pencalonan presiden dari hasil pemilihan anggota legislatif 2014 untuk menentukan calon presiden lima tahun kemudian. Pertarungan dalam pemilu presiden 2019 ibarat pertandingan gulat yang atletnya masuk arena dengan berat badan yang diukur lima tahun silam. Sistem politik kita juga gagal menghasilkan calon pemimpin di tingkat nasional. Partai-partai tidak menjalankan kaderisasi yang baik untuk menghasilkan banyak calon pemimpin.
Apa boleh buat, kini bagi rakyat cuma tersedia dua pilihan: Jokowi atau Prabowo Subianto. Saat ini, Prabowo merupakan figur yang memiliki elektabilitas tertinggi setelah Jokowi. Tiga kali gagal dalam pemilu presiden dan satu kali terlempar dalam konvensi partai pendukung, ia tak kapok mencoba peruntungan.
Memang belum ada bukti Prabowo tak becus jika menjadi kepala negara. Tapi, dengan beban masa silam yang sarat-terutama tudingan keterlibatannya dalam penculikan aktivis 1998-sulit mengharapkan dia bisa bekerja dengan baik. Sandiaga Uno, yang mendampingi Prabowo sebagai calon wakil presiden, belum banyak mengecap asam garam.
Mendapat pilihan yang terbatas, publik bisa memilih kandidat yang paling sedikit mudaratnya. Kemungkinan lain: tingkat partisipasi pemilu akan merosot-sesuatu yang menyedihkan jika benar terjadi.